Tenggelamnya SS. Vyner Brooke 1942

Biasanya kapal ini hanya membawa 12 penumpang ditambah dengan 47 orang awak kapal. Pada hari naas itu, Vyner Brooke berlayar dengan 181 orang penumpang yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak kecil. Selain itu juga terdapat 65 Perawat berkebangsaan Australia.
Siang itu sekitar jam 2 sore tanggal 13 February 1942, kapal ini melintasi sebuah pulau yang ditutupi oleh hutan yang tidak terlalu lebat, tapi disini ia mulai diserang pada sore harinya oleh pesawat tempur Jepang.
Inilah kisahnya...
Pada bulan Februari 1942 SS. Vyner Brooke membawa banyak prajurit Australia yang terluka serta 64 perawat Australia. Kapal tersebut tenggelam di bom oleh pesawat Jepang. Sebelas perawat hilang dalam serangan itu, tapi sisanya mencapai pantai di Jepang menduduki Pulau Bangka di Hindia Belanda.
Petugas kapal dan sebagian perempuan dan anak-anak pergi ke pemerintah Jepang untuk menyerah sementara para perawat menyiapkan tempat penampungan untuk merawat yang terluka. Sepasukan tentara Jepang datang dan menggiring semua yang terluka dan menembak mereka. Seorang tentara Jepang kemudian memerintahkan 22 perawat yang tersisa dan seorang wanita sipil untuk berjalan ke ombak di mana kemudian ditembak. Semua tewas kecuali satu perawat. Tentara yang terluka meninggalkan tandu kemudian dibunuh dengan ditusuk bayonet. Perawat terluka Vivian Bullwinkel terdampar di pantai dan ditinggal untuk mati. Dia lolos dari penangkapan selama 10 hari, namun akhirnya menyerahkan diri dan dipenjara. Bertahan dalam perang, ia bersaksi di pengadilan kejahatan perang di Tokyo pada tahun 1947.
Kisah Adik Suster Vivian Bullwinkel
Pada 13 Februari 1942, dengan jatuhnya Singapura ke dekat, enam puluh lima perawat Angkatan Darat Australia Jepang, termasuk Suster Vivian Bullwinkel, dievakuasi dari kota pesisir kecil yang terkepung ke kapal Vyner Brooke. Selain perawat Australia, kapal itu penuh sesak dengan lebih dari dua ratus pengungsi sipil dan personil militer Inggris. Ketika SS. Vyner Brooke melewati antara Sumatera dan Kalimantan, pesawat Jepang membom dan menembaki kapal yang kelebihan beban tersebut sehingga tenggelam dengan cepat.

Yang selamat di sekoci yang diberondong oleh pesawat Jepang tetapi beberapa darinya mencapai Pulau Bangka di lepas pantai Sumatera. Dua belas perawat Australia tewas dalam serangan di kapal atau tenggelam di laut. Sisa lima puluh tiga perawat mencapai Pulau Bangka dengan sekoci dan rakit dan sebagian lagi hanyut karena air pasang air pasang.
Para perawat ini memakai pita lengan Palang Merah mereka, sehingga menurut aturan perang seharusnya mereka memiliki status dilindungi sebagai non-kombatan oleh konvensi dari bangsa-bangsa yang beradab. Perawat-perawat tersebut diharapkan akan diperlakukan dengan cara yang beradab oleh Jepang ketika mereka mencapai pantai. Namun harapan mereka sirna. Yang beruntung selamat ditangkap di bawah todongan senjata oleh tentara Jepang dan digiring ke sebuah bangunan yang kotor dan penuh sesak. Semua korban sudah lelah, haus, dan lapar. Beberapa orang menderita paparan sinar matahari setelah berjam-jam tenggelam di laut, dan sebagaian lagi terluka dalam serangan di kapal dan sekoci. Tentara Jepang yang simpatik terhadap penderitaan mereka hanya memberikan para korban seember air dan seember beras.
Yang selamat beruntung, termasuk dua puluh dua perawat Australia, mendarat di sekoci di pantai utara Pulau Bangka dan menyalakan api unggun untuk memandu korban lainnya kepada mereka. Suster Vivian Bullwinkel termasuk dalam kelompok perawat. Ketika jumlah korban di api unggun mencapai sekitar seratus, diputuskan bahwa mereka harus menyerah kepada Jepang. Partai korban laki-laki pergi untuk mencari tentara Jepang. Mereka didampingi oleh perempuan sipil dan anak-anak mereka. Dua puluh dua perawat Australia tinggal untuk menjaga korban yang terluka, dan mereka membuat dan mendirikan sebuah salib merah untuk menunjukkan kepada Jepang bahwa mereka merupakan non-kombatan yang harus dilindungi.

Sebanyak dua puluh dua perawat Australia kemudian diperintahkan oleh Jepang untuk membentuk garis dan berjalan ke laut. Para wanita tahu apa yang akan terjadi pada mereka tapi mereka tidak panik ataupun memohon belas kasihan. Ketika air sudah mencapai pinggang para perawat, Jepang menembaki mereka. Suster Bullwinkel hanya terluka dibagian kakinya. Setelah menyadari bahwa dia hanya terluka, dia berpura-pura mati. Setelah beberapa waktu berlalu, dia memberanikan diri melirik ke arah pantai dan melihat bahwa tentara Jepang telah pergi. Dia melihat sekelilingnya untuk melihat dua puluh satu perawat yang tidak selamat dari pembantaian ini. Dia adalah satu-satunya perawat yang berhasil lolos dari pembantaian tersebut.

mantap cek..
ReplyDeleteyo cek..mumpung agak senggang waktu e skrg nie..
Deletebang, nih litertur dalam buku cetak ade bang?, kalau aade kire kire dimane ku pacak bace e
ReplyDeleteKalo buku e kyk e dk de..cuma ad potongan2 kesaksian WW II ..tu lah yg drangkum
ReplyDelete