Societeit Stannum in Belinjoe (1914)

SOCIETEIT STANNUM IN BELINJOE, 1914



Hikayat sebuah tempat tidak bisa dipisahkan dari keberadaan arsitekturnya, karena arsitekturnya adalah land mark (penanda bagi sebuah tempat). Begitu pula arti Societeit Stannum (sekarang Gedung Krida) di Kecamatan Belinyu, Bangka. Seharusnya bangunan tersebut tidak hanya menjadi landmark bagi kota Belinyu, tetapi harus memiliki hikayat tersendiri bagi warga Belinyu.

Bangunan ini, dulunya adalah salah satu Societeit dari sekian banyak societeit yang tidak terlalu terkenal yang dibangun oleh Departemen Kolonial Belanda ( Departement van Kolonien ) seperti halnya Simpangsche Societeit di Surabaya dan Societeit Concordia, Bandung. Kebanyakan societeit yang dibangun pemerintah kolonial Belanda di Indonesia bernama Societeit Concordia atau Societeit le harmonie. Berbeda jauh dengan societiet yang di bangun di Belinyu dengan nama Societeit Stannum. 

Societeit bukanlah berarti “masyarakat” seperti halnya yang dibahas di beberapa laman online tentang daerah Belinyu. Bahkan di beberapa laman online menulis bahwa arti dari Societeit Stannum adalah “Masyarakat Stannum”. Lho kok artinya tambah ribet ya? Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi karena terbatasnya literature sejarah tentang Belinyu yang diketahui secara spesifik serta terbatasnya pemahaman terhadap bahasa asing. Soos, kependekan dari sociëteit di sini mengacu pada klub gaul orang Eropa dan elite pribumi di Hindia Belanda masa itu. Bunyi akhir -teit pada sociëteit sama dengan- ty pada society dalam bahasa Inggris. Meski terdengar mirip, kedua kata itu tidaklah sama arti. Padanan sociëteit dalam bahasa Inggris adalah club house. Namun jelas, baik sociëteit maupun society berkaitan ihwal bersosialisasi. Merujuk pada kajian Sartono Kartodirdjo, dkk, Perkembangan Peradaban Priyayi, kata soos menjadi bagian penanda kaum homines novi alias manusia baru, yakni para priyayi pejabat pangreh praja dan kaum terpelajar didikan kolonial yang tampil sejak menjelang peralihan abad. Arti Societeit yang kita bahas merupakan tempat hiburan, dimana para tuan dan nyonya besar bangsa Belanda dan Eropa, bergembira ria menikmati kehidupan malam. Meneer (tuan) dan mevrouw (nyonya) memang memerlukan tempat untuk dugem guna melepaskan kepenatannya. 

Stannum, (yang pernah belajar kimia SMU pasti ingat kata ini). Stannum adalah kata latin dari biji timah, dimana kata ini berhubungan dengan kata “Stagnum” yang dalam bahasa inggris bersynonim langsung dengan kata “dripping” yang artinya menjadi “cair/basah”. Penggunaan kata ini dihubungkan dengan logam timah yang mudah mencair. Stannum adalah unsur kimia yang tertera dalam tabel periodik yang memiliki simbol “Sn” (ungkapan (Sn) ini seringkali kita dengar ketika seseorang bertanya tentang kadar timah yang didapat), padahal “Sn” adalah kode penulisan kimia yang merupakan kependekan dari Stannum dengan nomor atom 50.

Pada dasarnya, Societeit Stannum yang didirikan sekitar tahun 1914 dan pugar dengan dinding beton sekitar tahun 1926 ini adalah gedung pertemuan yang difungsikan sebagai sebuah klub malam bagi mereka warga Belanda dan Eropa yang tinggal dan bertugas di daerah utara pulau Bangka (Noord Banka) yang identik sebagai daerah penghasil biji timah pada masa itu. karena itulah societeit di Belinyu dinamakan dengan Societeit Stannum oleh pemerintah kolonial Belanda. Jika kita telaah kembali sebab perbedaan nama societeit di Belinyu dengan societeit lainnya di Indonesia, salah satunya karena pemerintah kolonial Belanda di Bangka ketika itu harus berkonsultasi dengan pemerintah Belanda di Jawa dalam semua hal, kecuali dalam masalah pertambangan timah. Dalam hal pertambangan timah, Pemerintah Belanda di Bangka diberi keistimewaan untuk mengambil kebijakan sendiri dalam menentukan arah perusahaan tambang timah (Banka Tin Winning) dengan berkoordinasi langsung dengan Kerajaan Belanda di Den Haag. Oleh sebab itulah penamaan societeit ini tidak merujuk kepada societiet-societeit yang dibangun di Jawa. 

Kehidupan malam di setiap tempat dugem itu adalah sama saja. Minum-minuman, makan-makan, dansa dan main bola sodok serta main kartu dan ngobrol kesana kemari. Hampir bersamaan dengan acara makan malam, digelar pula acara dansa. Dimana sebuah orkestra kecil yang terdiri dari tiga orang pemain biola dan satu orang pemain cello, segera menyajikan komposisi lagu berirama waltz. Orang Belanda menyebut dansa waltz dengan istilah Weenerwals atau Waltz Wina.

Namun, seiring perkembangannya, Societeit Stannum berfungsi juga sebagai tempat kumpul orang Belanda yang mempunyai faham rasialis. Fungsi Societeit Stannum sendiri berbeda dengan Societeit Stannum sebelumnya, dimana Societeit Stannum lebih diperuntukkan untuk pertunjukkan orkestra, dansa, sandiwara bahkan acara pernikahan pun di gedung Societeit Stannum tersebut dengan segmentasi khusus “high class”. Seperti halnya di societeit yang lain, biasanya di depan gerbang masuk societeit akan ditemui tanda verboden. Verboden sendiri adalah bahasa Belanda tapi sangat dikenal oleh kalangan pribumi Bangka sebagai tanda larangan. Tanda verboden ini biasanya tertulis “Verboden voor honden en Inlander” yang berarti “Orang pribumi dan anjing dilarang masuk. Verboden ini sangat menyakitkan bagi bangsa terjajah yaitu pada saat zaman kolonial disebut pribumi atau inlander. Ada juga larangan “Verboden voor inlander” saja yang artinya Pribumi dilarang Masuk. Yang semakin menyakitkan adalah tertulis juga di pintu masuk di beberapa tempat eksklusif Belanda bahwa: “Verboden voor Honden en Inlander“, artinya melarang masuk bagi anjing dan pribumi. Meski sebetulnya kata-kata larangan ini tidak ada bukti fotonya atau buktinya yang bisa dipercaya, namun disebutkan juga bahwa kalimat “Verboden voor honden en Inlander” terpampang pula di tempat-tempat khusus yaitu di seperti di trem, zwembad alias kolam renang, societeit begitu juga di lapangan sepak bola.

Saya mencoba untuk mengerti mengapa bangsa kulit putih saat itu tega-teganya menyejajarkan anjing dengan manusia yang Inlander itu. Dugaan saya di budaya orang kulit putih anjing tidak seperti kalau kita memperlakukan “anjing”. Bagi sebagian kita anjing adalah binatang yang tidak boleh disamakan dengan manusia, bahkan kalau badan kita dijilat atau kena liur anjing harap disertu atau digosok dengan tanah sebanyak 7 kali baru terakhir dengan air. Sementara bagi hususnya orang Belanda, anjing itu adalah kawan dari manusia, perlu dipelihara dan diperlakukan dengan penuh kasih sayang. (Maaf jika saya berlebihan karena sebetulnya persepsi kita pun sekarang mungkin sudah banyak berubah dalam memperlakukan binatang peliharaan). Nah, mungkin sebagian orang kulit putih saat itu kemana-mana selalu membawa anjing. Sementara orang pribumi Bangka pada zaman dulu kemana-mana memang tidak pernah membawa anjing peliharaan. Memang terkadang ada pribumi Bangka membawa banyak anjing tapi ketika akan berburu di kebun atau di hutan khususnya kala berburu babi, rusa, atau pelanduk saja. Maka saya hampir yakin bahwa “Verboden voor Honden” adalah dikhususkan untuk Meneer dan Mevrouw yang menuntun anjing kesayangannya terus mau masuk ke Societeit tertentu sebagai contoh masuk ke gedung Societeit Stannum di Belinyu.

Lalu mengapa harus dengan lanjutannya yang verboden juga voor Inlander, kalau ini adalah sifat mendasar manusia secara umum tidak kulit putih, tidak Melayu sama saja, yaitu ingin privasinya dihargai, ingin khusus, ingin diperlakukan beda dengan yang lain, ingin diistimewakan. Bukankah kita merasa sangat bangga ketika masuk ke ruangan yang VVIP yang dihususkan hanya orang yang mampu secara finansial, atau masuk ke tempat menonton yang dihususkan duduk di kursi tribun. Bahkan ada beberapa perusahaan di tanah air saat ini juga ada yang membeda-bedakan pekerjanya, misal ada golongan staff dan golongan nonstaff. Untuk staff tempat makan dan tempat pestanya dibuatkan khusus berbeda dengan nonstaff yang ditempat biasa saja. Meski saya berupaya untuk memahami, tapi saya tetap bersyukur kepada Allah SWT bahwa pada saat ini Indonesia telah “merdeka”, dan syukurnya kita tidak mengalami masa penjajahan. Selanjutnya, Setelah tahun 1955, setelah penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika, oleh Ir. Soekarno, nama societeit-societiet dianjurkan untuk diganti. Soekarno ingin “mendobrak” keadaan masa lalu gedung-gedung tersebut, dimana dulu merupakan simbol rasialisme dari kolonialisme di Indonesia. Demikian juga dengan Societeit Stannum selanjutnya dijadikan balai pertemuan yang berada di jantung kota Belinyu dengan nama Gedung Krida Stania.

0 komentar: