KONSISTENSI ”HAKKA” DALAM TRANSFORMASI ARSITEKTUR RAGAM BUDAYA (Studi Kasus: Kampung Gedong, Bangka.)

THE “HAKKA” CONSISTENCY IN ARCHITECTURE
TRANSFORMATION OF CULTURE
Case Study: Kampung Gedong in Bangka.


Culture, physical form, and mechanism, are the three aspects where an architecture was built. Kampung Gedong as one of Chinese Settlement in Bangka province, also affected by culture which is caused the transformation of physical form of architecture, from the origin Hakka Eartheilding in China to new architecture form of Kampung Gedong. The adaptation from some local traditions brings a new face of Kampung Gedong whether some of Hakka traditions still be followed by Kampung Gedong society. It is why the Hakka tradition always be consistence in different type of architectural form.

1. Pendahuluan
Hubungan antara manusia dan lingkungan binaan di mana mereka beraktivitas, berkaitan erat dengan budaya, tempat kehidupan sosial menjadi jembatan untuk menjabarkan kebudayaan sebagai turunan dalam bentuk variabel atau komponen. Melalui pendekatan ini, kebudayaan yang bersifat abstrak dapat dideskripsikan lebih riil melalui aspek-aspek sosial masyarakat, seperti struktur sosial, perilaku manusia, hubungan antarmanusia, dll. 

Dalam bukunya ‘Human Aspect of Urban Form’, Amos Rappoport mengemukakan tiga aspek yang mempengaruhi ruang dan bentuk lingkungan binaan, yaitu sebagai berikut.

  • Aspek Kebudayaan: Ruang dan bentuk dibuat oleh manusia berdasarkan kultur masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kebudayaan melahirkan lingkungan binaan.
  • Aspek Fisik: Lingkungan fisik berpengaruh terhadap perilaku di mana komunitasnya dapat berinteraksi dan tinggal di dalamnya.
  • Aspek Mekanisme: Dalam konteks ruang dan bentuk lingkungan binaan, ada mekanisme tertentu dalam kultur.
Lingkungan binaan merupakan hasil dari arsitektur vernakular atau yang lebih dikenal dengan arsitektur rakyat (folk) atau arsitektur populer. Folk design atau desain yang merakyat merupakan penerjemahan langsung dan sederhana yang berasal dari kebudayaan masyarakat ke dalam bentuk fisik. Tradisi rakyat (folk tradition) lebih dekat pada kebudayaan mayoritas masyarakat dan sesungguhnya lebih ”hidup” daripada tradisi grand yang mewakili kelompok elit. 

Yang perlu digarisbawahi dalam memahami arsitektur vernakular adalah pada proses bagaimana lingkungan binaan itu terbentuk, mulai dari proses desain hingga terbangun bentuk fisiknya. Proses yang terjadi di arsitektur vernakular merupakan adaptasi penyesuaian bentuk arsitektur terhadap lingkungannya dan lebih dinamis daripada arsitektur tradisional. Jadi, dalam vernakular ini ada suatu model di mana pada akhirnya terdapat penyesuaian-penyesuaian, dan model ini merupakan hasil kolaborasi dari banyak individu dari banyak generasi. Oleh karena itu, arsitektur vernakular terus berkembang, tidak pernah bisa berhenti karena salah satu cirinya yang open ended, yaitu selalu terbuka untuk perubahan-perubahan yang baru.

Transformasi yang terjadi pada bentukan fisik, dalam hal ini built architecture, tidak berarti disebabkan oleh adanya transformasi budaya. Sebuah produk arsitektur vernakular dengan jelas menggambarkan bagaimana built architecture mengalami perubahan-perubahan, tetapi tetap memiliki nilai-nilai kebudayaan yang kental. Perubahan-perubahan ini pun akan terus berkembang tanpa mengabaikan nilai-nilai tradisi dan budaya nenek moyang, yang terwujud dalam aktivitas, cara hidup, bahasa, dan sebagainya dalam masyarakat tersebut.


2. Gedong: Sebuah Kampung Vernakular
Kurang lebih 200 tahun yang lalu, lokasi tempat Kampung Gedong sekarang yang terletak di dusun Lumut kecamatan Belinyu, dahulu berupa hutan rawa adalah dengan vegetasi yang lebat. Kontur daerah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain di sekitarnya sehingga kampung berbentuk seperti sebuah cekungan dengan kondisi tanah rawa yang labil karena adanya lumpur.

Pada awalnya para leluhur pendiri kampung Gedong yang merupakan orang Cina Hakka asli datang ke lokasi ini dengan maksud menggali timah dan bermaksud bermukim di lokasi dengan alasan dekat dengan tambang timah. Mereka pun membuka hutan serta menguruknya dengan tanah dan pasir sebagai lapisan teratas, sehingga cekungan berubah menjadi dataran yang tidak begitu labil. Lahan tersebut dijadikan lingkungan bermukim untuk tempat tinggal para pendiri yang pekerja tambang timah.

Liuk Phun Thew adalah nama lain dari kampung Gedong. Istilah tersebut berasal dari bahasa Cina Hakka, dalam bahasa Indonesia disebut ”Parit 6” di mana merupakan sebuah kongsi dagang yang terdiri atas enam bos besar. Tatkala maraknya bursa pertambangan timah, terdapatlah enam orang pembesar tambang timah di kampung itu sehingga istilah ini lalu digunakan sebagai nama kampung. Dengan demikian, istilah tersebut sangat erat hubungannya dengan sejarah berdirinya kampung Gedong. Dengan keadaan ekonomi yang tinggi, mereka memanfaatkan kebebasan aturan kepemilikan tanah yang tidak terbatas untuk memiliki tanah sesuai dengan kemampuan mereka untuk dapat mengurusnya dan membangun rumah dengan luas yang lebih besar dari penduduk lainnya. Konon antara para pembesar tersebut satu sama lainnya saling berlomba dalam mendirikan tempat tinggal sebesar dan seluas mungkin. Di atas dataran berpasir tersebut didirikan bangunan-bangunan rumah tinggal berukuran luas seperti layaknya bangunan–bangunan gedung pada saat itu. Mungkin mereka beranggapan semakin luas dan semakin besar bangunan, akan semakin makmur dan bagus kelihatannya. Ini sesuai dengan kepercayaan orang Cina bahwa semakin besar dan bagus rumah tinggal, menandakan semakin makmur pula pemiliknya. Oleh karena itu bangunan-bangunan besar didirikan di kampung itu yang biasa kita sebut bangunan ”gedong”. Dari sinilah muncul nama Kampung Gedong. Wujud fisik bangunan “gedong” di kampung terlihat nyata sampai sekarang. Sebagian rumah-rumah tua di sana berukuran cukup besar seperti layaknya rumah “gedongan”. 

2.1.Latar Belakang Historis
Hakka atau Khek atau Keija merupakan salah satu sub suku bangsa Han yang merupakan dominasi 94% dari keseluruhan penduduk negara Cina, yang juga merupakan salah satu bangsa awal peradaban Cina. Bangsa Hakka memiliki karakteristik tersendiri sebagai bangsa nomaden dan pekerja keras. Berdasarkan karakteristik di atas, pada awalnya bangsa Hakka bermigrasi dari wilayah Shaanxi, Cina bagian utara menuju Cina Selatan yang lebih hangat dan subur. Migrasi ini akhirnya mengantarkan bangsa Hakka pada daerah perbatasan Guangdong, JiangXi, dan Fujian yang sekarang menjadi pusat tanah leluhur mereka dan menetap di sana. Akan tetapi, daerah tersebut sebelumnya telah didiami oleh beberapa suku lain sehingga sering terjadi friksi antarsuku. Friksi terus berlangsung pada akhir tahun 1600 yang mengakibatkan subsuku bangsa Hakka terpecah-pecah lagi.

Hal ini melatar belakangi lahirnya bentuk arsitektur asli bangsa Hakka yang merupakan hasil adaptasi akan kebutuhan fungsional semata dari aktivitas kehidupan sehari-hari. Rumah asli bangsa Hakka, yang dikenal dengan istilah ‘Hakka Earthenbuilding’ adalah sebuah bangunan sejenis rumah susun yang berbentuk bundar dengan fungsi publik pada bangunan tengah dan courtyard besar pada pusat lingkaran. Bentuk ini merupakan suatu adaptasi yang efektif akibat serangan dan gangguan dari luar permukiman akibat friksi antarsuku. Dengan demikian, rasa aman terhadap ancaman luar dapat teratasi sekaligus tanpa mengurangi kebutuhan bersosialisasi dalam masyarakat dengan kekeluargaan yang erat, saling menjaga, dan melindungi. Bangunan hunian bertingkat ini awalnya terbuat dari batu bata jemur.

Kehidupan bangsa Hakka yang nomaden dan bermata pencaharian buruh pada umumnya memaksa mereka untuk hidup sebagai pekerja keras sehingga unsur seni sebagai dekorasi kerapkali diabaikan. Oleh karena itu, bentuk arsitektur terbangun hasil karya masyarakat suku Hakka cenderung sederhana, polos, tanpa ornamen karena hanya memperhatikan kebutuhan fungsional yang erat terkait dengan kepercayaan nenek moyang. Sebagai contoh, pada abad ke-17 di Yongding, Fujian, kampung halaman dimana suku Cina Hakka bermukim, terdapatlah sebuah rumah besar Hakka berpenghuni sekitar 550 KK. Dengan demikian, bentuk arsitektur khas suku Hakka ini sering dikategorikan sebagai kota berukuran kecil. 

Susunan massa yang terdiri atas beberapa layer, menyiratkan sebuah komposisi hierarkis berdasarkan derajat kepublikannya, semakin ke dalam semakin public dengan inner-court sebagai pusatnya. Hal ini juga selaras dengan susunan massa melingkar yang berorientasi ke dalam, ke arah ruang yang semakin publik. Secara tiga dimensional, susunan massa juga dengan jelas membentuk sekuens ruang yang baik dengan layer bangunan terluar merupakan bangunan tertinggi lalu diikuti bangunan fungsi publik lainnya seperti komersial, fasilitas umum, dan lainnya sebagai layer berikutnya hingga pada titik pusat susunan massa, inner-court sebagai ruang terbuka.

Selain untuk aktivitas fungsional, inner-court juga memiliki makna dalam kehidupan masyarakat, di mana ruang terbuka diibaratkan sebagai sumur yang menerima berkah langsung dari langit dan berkahnya diterima langsung dan serempak oleh seluruh penghuni karena massa hunian merupakan elemen pelingkup inner-court tersebut. Jika ditinjau dengan skala unit massa, konsep arsitekturnya tidaklah berbeda dengan rumah Cina pada umumnya dengan pembagian kepala badan kaki, di mana kepala sebagai mahkota adalah segmen yang terpenting dari sebuah karya arsitektur. Hal ini tampak dengan jelas pada bentuk atap yang mendominasi karakter tampak secara horisontal. Akan tetapi, gabungan massa memusat hingga membentuk lingkaran, memang hanya dijumpai pada hunian bangsa Hakka.

2.2.Masuknya Hakka di Pulau Bangka
Suku Hakka adalah salah satu suku bangsa terakhir yang masuk ke Indonesia. Dengan berbagai latar belakang dan tujuan, masyarakat Hakka datang ke Indonesia bermukim secara mengelompok di beberapa wilayah nusantara seperti Aceh, Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, dan beberapa wilayah di Jawa Barat seperti Bogor, Sukabumi, Bandung, dan sekitarnya. 

Bangsa Hakka yang dikenal sebagai buruh penambang timah masuk ke Bangka setelah dibukanya pertambangan timah Bangka pada abad ke-18 sekitar tahun 1730. Kesultanan Palembang mendatangkan pekerja tambang dari Cina setelah menyerahkan perdagangan timah pada Pemerintahan Kolonial Belanda tahun1722. Berdatangannya imigran Cina suku bangsa Hakka sebagai buruh penambang timah ini terus berlanjut hingga pertengahan tahun1800.

Tatkala kontrak kerja mereka sebagai buruh tambang jatuh tempo atau habis, para imigran pun memutuskan untuk tetap bermukim di Pulau Bangka dan mulai membentuk suatu permukiman sendiri yang masih banyak membawa budaya tanah leluhur mereka, tetapi dalam pola permukiman yang sama sekali berbeda dengan bentuk arsitektur nenek moyang mereka. Perpaduan antara adaptasi dengan lingkungan dan budaya setempat, kebutuhan ruang aktivitas, pengetahuan konstruksi, ketersediaan material bangunan, serta kepercayaan masyarakat telah melahirkan arsitektur khas di masing-masing kawasan, termasuk Kampung Gedong.

2.3.Pola Tatanan Massa
Perkembangan pola tatanan massa Kampung Gedong bermula dari beberapa massa hunian awal yang tersebar linier mengikuti pola sungai, yang berkembang hingga padat dan membentuk pola linier yang tegas, dengan ruang jalan sebagai fungsi sirkulasi utama dan orientasi massanya.



Gambar. Peta Pola Perkembangan Massa Kampung Gedong (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Ditinjau dari sistem kepercayaan dan religi masyarakat Hakka, orientasi massa-massa hunian bukanlah pada pola linier akibat adanya ruang jalan, tetapi disebabkan adanya perilaku pola penduduk suku Hakka yang selalu membelakangi sungai. Berdasarkan latar belakang ini, pola tatanan massa Kampung Gedong saat ini juga masih mengadopsi pola settlement, terlihat dari tidak adanya batas-batas fisik yang tegas yang membentuk ruang jalan, kecuali masa-massa hunian itu sendiri. Elemen sungai yang terletak di belakang deretan massa arah Timur, sejajar dengan jalan utama memberikan dugaan kuat bahwa pola linier ini didasarkan atas keberadaan sungai dan massa-massa yang membelakangi sungai tersebut. Karakter elemen jalan menjadi semakin tegas akibat kepadatan massa yang kian bertambah, serta adanya penyempitan dan pendangkalan sungai yang tidak dimanfaatkan lagi. Padahal menurut sejarah, pada awalnya sungai tersebut merupakan sungai besar yang digunakan sebagai jalur transportasi kapal laut sekaligus akses masuk kampung satu-satunya hingga tahun 1942. Dengan demikian, elemen jalan terbentuk setelah massa terlalu padat dan berkembang sehingga membentuk pola tatanan massa yang membentuk ruang antar massa dengan fungsi sirkulasi. 

Ditinjau dari segi historis suku Hakka sebagai pekerja kebun dan tambang, pola settlement yang mereka miliki pun bukanlah pola permukiman yang urban. Dengan kata lain, aksesibilitas bukanlah orientasi tatanan massa, melainkan sungai. Akan tetapi, jika dilihat secara fisik ruangnya saja, tampak seperti pola linier kampung-kampung Sunda di perkebunan. Kebutuhan akan tempat bermukim yang kian meningkat seiring bertambahnya dengan jumlah penduduk, bertambah pula jumlah massa yang memperjelas ruang kampung yang ada. Ruang antarmassa yang pada awalnya renggang dengan jumlah massa 10 buah kini menjadi semakin sempit dengan adanya perkembangan jumlah massa yang kini mencapai 60 buah. 

Kampung Gedong merupakan kampung terakhir di Desa Lumut, sehingga akses merupakan jalan buntu, dan tatanan massa ini membentuk suatu kantong permukiman tersendiri yang menjadikan kampung ini terpencil dan terisolasi. Di akhir jalur sirkulasi kampung, orientasi massanya tidak lagi menghadap jalan utama dan massa-massa lainnya, tetapi menghadap sumbu jalan utama seperti posisi ”tusuk sate”. Posisi massa tersebut menjadi penanda fisik yang sangat jelas sebagai bentuk pengakhiran ruang kampung hingga menyerupai kantong.

2.4.Kehidupan Masyarakat Gedong 
Lokasi kampung yang terpencil dan terisolasi, tidak menutup masyarakat kampung Gedong untuk up to date akan kemajuan mode dan teknologi. Darah perantau nenek moyang yang juga mengalir pada masyarakat Gedong, telah mendorong kaum muda di desa ini keluar kampung untuk merantau, mencari kehidupan yang lebih baik, mengikuti jejak para leluhur. Setiap setahun sekali, mereka pun pulang ke rantau untuk menengok orang tua dan kerabat mereka. Hal inilah yang sedikit demi sedikit membuka kehidupan masyarakat yang sebelumnya terisolasi, jauh dari pengaruh luar yang serba modern. Keberadaan stereo set di salah satu rumah penduduk yang menggema hingga ke jalanan setiap sore dengan lagu-lagu barat dan mandarin terpopuler, menjadikan salah satu tanda bahwa kampung Gedong tidak tertutup akan modernisasi. Di sela-sela modernisasi yang mulai merambah Kampung Gedong, kentalnya budaya Hakka masih nampak mendominasi dalam berbagai aktivitas ritual agama dan kepercayaan yang hanya dimiliki masyarakat kampung Gedong. Hal ini juga mengundang minat masyarakat kampung lain bahkan kota lain untuk menyaksikan atraksi budaya kala perayaan hari-hari keagamaan. Kepercayaan dan ketaatan pada leluhur dan agama Kong Hu Cu ini masih bertahan hingga saat sekarang dan terus dilestarikan secara turun temurun. Sebagai salah satu fasilitas kampung, keberadaan kelenteng sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat kampung Gedong yang merupakan pusat kehidupan beragama. Berbagai kegiatan yang sering diselenggarakan di kelenteng menandakan bahwa kelenteng tersebut memang berperan penting. Inilah yang menjadi kelenteng yang berumur hampir 200 tahun tersebut tetap menjadi sacral dan dipercaya sebagai penjaga kampung mereka. Di kelenteng ini pulalah berbagai kegiatan tersebut diadakan.

2.5.Kelenteng Sebagai Pusat Kehidupan Masyarakat Gedong
Berdasarkan sejarah suci agama Kong Hu Cu (Konfusianisme), di dalam kitab suci Ngo King disebutkan bahwa salah satu tempat ibadah umat Konfusianisme adalah Bio yang dikenal dengan istilah “kelenteng”.

Istilah “kelenteng” merupakan istilah asli bahasa Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh bunyi yang ditimbulkan oleh genta yang dibunyikan pada saat upacara-upacara hari besar yang diselenggarakan di kelenteng. Jika genta kecil dibunyikan akan berbunyi klinting…klinting…, sedangkan genta besar berbunyi klonteng…klonteng. Erat hubungannya dengan kebiasaan masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa yang seringkali menyebut suatu istilah berdasarkan bunyinya, demikian juga istilah kelenteng ini yang berasal dari bunyi genta tadi. 

Kelenteng yang terdapat di jalan percabangan ruas jalan utama Kampung Gedong ini memiliki fungsi dan bentuk yang hampir sama dengan kelenteng-kelenteng lain pada umumnya. Warna merah yang mendominasi bangunan ini menjadi penanda yang cukup jelas bahwa bangunan tersebut adalah bangunan kelenteng. Kelenteng ini letaknya terpisah dengan permukiman penduduk tetapi letaknya relatif dekat. Kelenteng menghadap sungai yang mengalir di sepanjang tepi kampung.

Bangunan kelenteng yang berumur kurang lebih 150 tahun sudah mengalami renovasi pada tahun 1979. Altar utama dari kelenteng adalah Raja dan Ratu Langit (Fa Ti) yang biasa disebut Toa Pe Kong oleh penduduk sekitar. Ruang dalam bangunan utama kelenteng hanya berfungsi sebagai tempat sembahyang saja di mana terdapat tiga altar dengan Raja dan Ratu langit sebagai yang utama dan terletak di tengah. Di samping kanan altar utama terdapat altar Fa Kong Sui Sien, yaitu 4 Raja Alam Semesta, sedangkan di kiri terdapat altar Kuan Kong, seorang Jenderal legendaris sejarah Sam Kok (Tiga Negara) yang sangat terkenal dan biasa banyak dipuja oleh masyarakat Cina Hakka. 

Setelah mengalami renovasi, bangunan kelenteng yang awalnya dominan menggunakan kayu sebagai material bangunannya, sekarang ini menggunakan material batu. Ini disebabkan oleh adanya musibah banjir yang rutin melanda Kampung Gedong setiap tahunnya sehingga material kayu yang kurang tahan air diganti dengan batu dengan maksud untuk lebih menjaga keawetan bangunan. Jika banjir datang melanda, banyak penduduk yang kebanjiran biasanya mengungsi ke kelenteng ini dengan menggunakan sampan. Hal ini dimungkinkan karena letak kelenteng yang cukup tinggi dari permukaan tanah dengan ketinggian berjumlah sembilan anak tangga, serta adanya kepercayaan bahwa kelenteng adalah bangunan penjaga masyarakat sehingga lokasinya pun terpisah dari deretan massa hunian dan persis berhadapan dengan akhiran sungai yang diduga akses pencapaian menuju kampung.

Kepercayaan akan hal ini pun tampak pada permukiman Cina di perkotaan, di mana letak kelenteng selalu ”tusuk sate” ke arah jalan utama. Hal ini memiliki makna serupa, yaitu bangunan kelenteng selalu diletakkan di muka kawasan permukiman dengan maksud menjaga dan melindungi warga yang berada dalam permukiman tersebut sehingga jika ada hal yang tidak baik dan berbahaya, pertama kali akan berhadapan dengan kelenteng terlebih dahulu. Selain menjadi simpul kegiatan pada hari raya keagamaan agama Kong Hu Cu yang dianut masyarakat setempat, kelenteng ini juga dijadikan tempat untuk menyimpan jenazah orang meninggal. Di depan bangunan kelenteng ini terdapat sebuah bangunan altar kecil tempat penghormatan kepada Dewa Bumi atau Dewa Tanah. Letaknya saling berhadapan dengan bangunan kelenteng. Di samping bangunan juga terdapat sebuah batu besar yang dipercayai oleh masyarakat kampung sebagai Batu Keramat yang konon kabarnya setiap tahunnya batu tersebut bertambah besar.

2.6.Aktivitas Harian Masyarakat Kampung Gedong
Kegiatan rutinitas sehari-hari masyarakat turut diwarnai oleh berbagai aktivitas budaya dan religius. Setiap harinya, harumnya dupa memenuhi ruang depan dan dapur setiap rumah. Selain bersembahyang di kelenteng, aktivitas bersembahyang ini dilakukan setiap hari di rumah masing-masing. Makna altar pada rumah yang diletakkan di depan pintu masuk, memiliki makna yang sama dengan makna kelenteng pada kampung, yaitu sebagai penjaga dan pelindung penghuni rumah tersebut.

Pagi hari buta, kehidupan Kampung Gedong ditandai dengan aktivitas anak-anak bersekolah ke luar desa dan selang beberapa waktu kemudian, orang tua mereka pun pergi ke tambang timah dan berkebun. Pada sore hari, lapangan dekat kolong-kolong timah pun berubah menjadi pusat aktivitas anak-anak yang bermain bola. Pada malam harinya, tatkala malam tiba dan listrik dimatikan, seluruh aktivitas pun terhenti dan mengisyaratkan penduduk untuk segera beristirahat. Pada pagi harinya lingkaran rutinitas ini terus berulang hingga malam tiba. Begitulah kehidupan masyarakat kampung Gedong sehari-hari.

Keberadaan teras-teras rumah yang berukuran luas ini pun menjadi penting dengan adanya berbagai aktivitas bersama yang dilakukan untuk bersosialisasi seperti mengobrol, bermain bekel, dsb. Walaupun tidak ada bentuk fisik terbangun sebagai ruang bersama dalam skala kampung mereka, teras-teras rumah merekalah yang berperan untuk menampung seluruh aktivitas bersama tersebut. Fungsi teras sebagai ruang publik ini juga yang sedikit banyak diduga berpengaruh pada tipologi massa seluruhnya memiliki teras, mengingat ukuran luas teras yang mencapai panjang 2 – 3 meter dan lebar yang seukuran lebar massa bangunan. Fenomena ini tidak lazim ditemui pada bangunan umumnya.


3. Transformasi Bentuk Arsitektur Kampung Gedong
Adanya perubahan mendasar dari bentuk ”earthenbuilding” menjadi rumah-rumah tunggal berukuran besar disebabkan karena adanya perubahan taraf hidup masyarakat baik di kampung halaman maupun di daerah perantauan baru. Dengan latar belakang historis masyarakat Hakka yang pekerja buruh, di negeri asalnya Cina, dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, sedikit sekali kesempatan mereka untuk memiliki rumah tunggal yang dimiliki orang Cina dengan status ekonomi kelas atas. Hal ini didukung oleh adanya falsafah bahwa rumah menunjukkan status sosial seseorang, di mana semakin besar rumah, maka artinya semakin tinggi pula tingkat ekonomi seseorang. Oleh karena itu, kepemilikan rumah tunggal di Cina pada zaman tersebut, hanya dikuasai bangsawan dan keluarga pejabat istana.

Di Pulau Bangka yang masih kosong ini, para pekerja buruh yang sebagian diangkat menjadi kepala tambang, memiliki kesempatan untuk memiliki rumah tinggal. Oleh karena itulah, mereka membangun rumah dengan ukuran besar sesuai keinginan mereka, di mana kepemilikan tanah di daerah ini bebas selama pemiliknya dapat merawat dan memelihara. Hal ini juga berlaku bagi kebun dan pertambangan. Dengan demikian, peningkatan taraf hidup pun kian berlanjut. 

Perubahan bentuk yang drastis ini juga terus berkembang dengan adanya pengaruh suku bangsa Melayu sebagai tuan rumah dan pengaruh bangsa kolonial. Keadaan ini ditandai dengan awal terbentuknya rumah panggung yang mengadaptasi bentuk arsitektur Melayu dari Palembang, yang berkembang lagi menjadi rumah di atas tanah dengan pondasi pelat dari batu, yang mengadopsi pengaruh Belanda. Pengaruh lain juga tampak pada pasak bangunan dan konstruksi atap kuda-kuda. Bangunan ini terus bertahan sampai saat ini hingga berumur kurang lebih 100 tahun.

Dari semua perubahan itu, bentuk rumah beratap miring seperti halnya rumah-rumah Cina awalnya masih terlihat khas bahwa perkampungan ini merupakan Chinese Settlement. Akan tetapi, yang terpenting adalah bahwa apa pun bentuk arsitekturnya, konsep masyarakat yang dilandasi kepercayaan mereka masih tetap dipertahankan. Terlihat dari denah mereka yang konsisten dan keberadaan inner-court (ruang terbuka dalam bangunan) sebagai sumur rezeki bagi mereka. Mata pencaharian yang tidak jauh berbeda dengan nenek moyang mereka juga tetap menghasilkan bentuk arsitektur yang polos tanpa ornamen. Hanya elemen-elemen tertentu seperti konsol atau jendela saja yang diberi sedikit ornamen.

Aturan-aturan pembangunan seperti orientasi rumah, peletakan fungsi ruang, letak pintu, tangga, serta beberapa elemen lain juga tetap dipertahankan dalam membangun arsitektur khas Gedong ini. Akan tetapi, beberapa aturan yang sudah dianggap tidak relevan juga kerap kali ditinggalkan oleh mereka. Misalnya pada rumah- rumah baru yang berdinding bata juga keberadaan inner-court mulai ditinggalkan karena kondisi lahan yang mulai terbatas. Di sisi lain, perubahan-perubahan fisik yang signifikan, tidak mengubah makna ruang/place yang adasejak awal, seperti makna altar.

Dibalik semua proses perubahan fisik yang terjadi sejak awal terbentuknya kampung hingga kini, masyarakat kampung Gedong tetap kukuh pada tradisi mereka dan kehidupan religi yang begitu kuat dengan kepercayaan Bangsa Hakka yang masih bersumber pada nenek moyang mereka. Oleh karena itu, Kampung Gedong sebagai sebuah produk vernakular tetap mempertahankan identitasnya sebagai permukiman suku Hakka. Kampung Gedong ….Masyarakat kampung dengan rumah gedongan …

7 comments:

  1. Penelaahan yang mendalam dan bagus. Bisa tahu siapa penelitinya dan kapan ini dilakukan. Terima kasih, Lim

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lim, susah ya mau tau dan mau kenal sama penulisnya ...
      Anda sendiri berasal dari mana ? Saya lulusan terakhir di Bangka, SMA St Yosef 1973.

      Salam Abang Efran.

      Delete
  2. Abang Efran, salam kenal, saya lulus SMA di Belinyu tahun 1985, dan sekarang di perantauan. Tulisan di blog ini sangat komprehensif, dan sebagian lebih mirip karya ilmiah. Kelihatannya narasumbernya dari luar. Sayang kalau disia-siakan.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Hai..makasih udah mampir dsini..saya cm mengabadikan penggalan sejarah tanah kelahiran kita biar anak cucu kita nnti tak lupa sama tanah kelahirannya..salam kenal jg ..

    ReplyDelete
  5. Hai..makasih udah mampir dsini..saya cm mengabadikan penggalan sejarah tanah kelahiran kita biar anak cucu kita nnti tak lupa sama tanah kelahirannya..salam kenal jg ..

    ReplyDelete
  6. Tulisan2 dsini belum sepenuh nya rampung krn keterbatasan waktu saya

    ReplyDelete