Pulau Bangka "Lima Abad Sepintas Lalu"
11:04:00 AM
By
noordkustbanka
0
komentar
Asal-usul penduduk Banka terekam di dalam naskah-naskah kesejarahan di Jawa. Namun demikan, tak ada kejelasan mengenai bagaimana caranya orang dari Palembang dapat berkuasa di Banka.
APAKAH Pulau Banka pernah diserahkan kepada penguasa-penguasa di Kesultanan Palembang di masa ketika raja-raja Jawa dan raja-raja Palembang berhubungan dan bekerjasama? Ataukah, penduduk pulau itu—atas kemauan sendiri—mengakui kekuasaan raja-raja Palembang untuk mendapatkan perlindungan? Kemungkinan besar, bagian-bagian paling barat Banka terpengaruh besar oleh Palembang ketika daerah-daerah itu sebetulnya masih dikuasai oleh perwakilan raja-raja Jawa.
Adanya saling-keterkaitan di masa lalu di antara kerajaan di Palembang dan raja-raja di Pulau Jawa terbukti oleh naskah-naskah di Jawa dan di Palembang. Adanya kemiripan bahasa di kedua tempat itu merupakan salah satu bukti kuat tentang keberadaan hubungan saling-terkait itu. Bahasa yang digunakan oleh kelas-kelas menengah dan atas di Palembang dan sekitarnya menunjukkan kesamaan-kesamaan khas bahasa sumbernya, yaitu bahasa yang digunakan di daerah Jawa tengah.
Sejarah Jawa mencatat bahwa raja Madjapahit yang pertama, Browidjoyo Ongkowidjoyo, menganugerahkan kerajaan Palembang kepada anaknya, Ariyo Dammar. Pada waktu itu, Palembang sudah berada di bawah kekuasaannya. Pada tahun 1300, Ariyo Dammar berangkat ke Palembang. Ia diiringi oleh sejumlah besar pendukung dan pengiring. Mereka inilah yang menjadi koloni tetap pertama di sana.
Penelitian Horsfield mengenai turun-temurun raja-raja Palembang menghasilkan silsilah yang merangkum 248 tahun. Silsilah itu rupanya masih menyisakan banyak pertanyaan. Sebagian pangeran di dalam silsilah itu merupakan keturunan Ariyo Dammar, cikal-bakal koloni Jawa di Palembang; sebagian lagi merupakan keturunan Mulana Ibrahim, yang berasal dari Arab. Mulana Ibrahim-lah yang menyebarkan agama Islam di Jawa, Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya.
Menjelang akhir abad ke-16, kerajaan di Palembang berkali-kali diserang oleh orang dari daerah Lampung. Menurut Valentyn, dengan bantuan Kesultanan Banten, sebagian wilayah di batas selatan berhasil dikuasai Lampung, walau ini tidak berlangsung lama. Selebihnya, karena sedikitnya sumber sejarah yang tersedia, Horsfield tidak memberikan uraian lebih lanjut mengenai Palembang abad ke-17. Yang jelas, pada tahun 1660 kota Palembang habis diberangus oleh Belanda.
Di awal abad ke-18, terjadi peristiwa-peristiwa yang langsung berhubungan dengan Pulau Banka. Keresahan kemasyarakatan sekitar tahun 1720 di Palembang berakhir dengan penobatan sultan yang keturunannya masih bertahta ketika Horsfield datang meneliti di kota itu. Keresahan itu berhasil diredam berkat bantuan Belanda. Horsfield sendiri menyangsikan adanya dokumen-dokumen yang merekam revolusi itu. Ia sendiri menguraikan peristiwa itu berdasarkan cerita yang diwariskan turun-temurun oleh penduduk Palembang.
Ketika Susunan Ratu (Susuhunan Ratu) yang bernama Tshandi-Walang meninggal dunia pada tahun 1710, kerajaan di Palembang diwariskan kepada dua orang anaknya. Anak pertama, Mahomud Mongsour, tinggal di Kebon-Gede, suatu daerah yang terletak agak di luar kota. Adiknya, Sultan Kama-Rudin (yang menyandang gelar Sultan Agong) tinggal di kota Palembang. Tempat tinggal Sultan Agong dikenal juga dengan nama Plembang Lama.
Sebelum Sultan Muhamad Mongsour meninggal dunia, ia menyerahkan tahtanya kepada anak lelakinya yang sulung. Sultan yang baru itu bergelar Sultan Anom. Tak lama kemudian, terjadi kericuhan dan pertikaian di dalam keluarga ini yang meledak sehingga terjadi perpecahan keluarga.
Adik Sultan Anom yang bernama Raden Lambu merupakan lelaki pegiat yang gemar bertualang. Ia meninggalkan Palembang untuk mengunjungi negeri-negeri Johor, Tringano (Trengganu) dan Siam. Di Siantan, ia menikah dan kemudian mendirikan Minto (Muntok) sebagai permukiman untuk kerabat-kerabat isterinya. Tak lama kemudian, ia kembali ke Palembang untuk melaksanakan hal-hal yang diperlukan untuk menguasai kerajaan di kota itu.
Sultan Agong—pamannya—tidak memiliki anak lelaki. Untuk dapat menggantikan kedudukannya sebagai sultan, Raden Lambu sebetulnya harus mengawini anak perempuan Sultan Agong. Akan tetapi, anak perempuan itu telah menikah dengan seorang lelaki yang bernama Pangeran Djaja. Entah bagaimana caranya, Raden Lambu berhasil menceraikan kedua suami-isteri itu dan berhasil pula menikahi anak perempuan Sultan Agong. Ketika Sang Sultan meninggal dunia, Raden Lambu—menantunya–dinobatkan sebagai Sultan Agong. Dengan demikian, ia menguasai separuh kekuasaan dari Kesultanan Palembang yang terbagi dua itu.
Kini, hasutan dan intrik disebar dan menyirap persaingan di antara pangeran di Plembang Lama dan kakaknya—sultan baru–yang berkuasa di Kebon-Gede. Pertikaian itu semakin memanas oleh ikut campurnya Belanda yang didekati oleh Sultan Agong.
Beberapa kapal dan pasukan diberangkatkan dari Batavia sebagai bala bantuan. Sultan Agong menerapkan berbagai strategi untuk menghambat keamanan dan pertahanan Sultan Setelah suatu kunjungan silaturahmi biasa, Sultan Anom tiba-tiba dikejutkan oleh tembakan-tembakan dari kapal-kapal yang berlabuh di tengah-tengah Sungai Musi. Ia pun mendapatkan serangan dari darat. Mau tak-mau, Sultan Anom terpaksa meninggalkan istananya untuk menyelamatkan diri.
Awalnya, Sultan Anom pindah ke Jambi. Tak lama kemudian, ia pindah ke Banka. Bersama dengan pendukung-pendukungnya, selama 10 tahun berturut-turut, ia menentang kakaknya. Horsfield menduga adanya kemungkinan bahwa Sultan Anom akan terus berusaha merebut kembali kekuasaannya seandainya ia tidak diusir oleh suatu ekspedisi dari Batavia. Ekspedisi itu sendiri berakhir pada tahun 1732.
Oleh kedatangan ekspedisi militer Belanda dan revolusi yang terjadi, Raden Lambu–(adik Sultan Anom) dan menantu yang mewarisi tahta Sultan Agong—kini berhasil merebut kekuasaan penuh atas keseluruhan Kesultanan Palembang. Ia mulai menjalankan kekuasaannya pada tahun 1722 dan menyandang gelar Sultan Mahmud Badar Udin.
Sultan Mahmud Badar Udin (yang dulunya dikenal sebagai Raden Lambu dan kemudian sebentar, sebagai Sultan Agong, menandatangani kontrak kerjasama dengan komisioner Belanda yang datang dari Batavia. Di dalam kontrak itu, Sang Sultan berjanji akan menjual komoditi dan hasil produksi dari Palembang dan Banka kepada VOC dengan harga tertentu yang telah ditetapkan. Kontrak kerjasama itu disahkan di Batavia di tahun berikutnya. Nama kedua penandatangan kontrak kerjasama itu, Abraham Patras dan William Daums (komandan ekspedisi militer yang menaklukkan Sultan Anom di Kebon Gede), masih dikenal oleh orang di Palembang, ketika Horsfield di sana.
Uraian ini juga ditegaskan oleh Valentyn yang baru saja kembali ke Eropa ketika peristiwa ini terjadi. Seseorang di Batavia menyampaikan kepadanya bahwa ekspedisi militer VOC yang berangkat dari Batavia terdiri dari 6 buah kapal perang dan 400-500 anggota pasukan. Ekspedisi militer itu konon diberangkatkan untuk menyelesaikan pertikaian-pertikaian di antara keluarga kesultanan.
Walau Raden Lambu (Sultan Mahmud Badar Udin) telah memegang tampuk kepemimpinan di Palembang, Sultan Anom tidak melepas ambisinya. Setelah pindah ke Banka, ia mengumpulkan pendukung-pendukung dari Palembang. Selain itu, ia juga didukung oleh sejumlah besar orang Bugis yang ada di Pulau Banka. Terkecuali permukiman di Minto (Muntok), seluruh Pulau Banka kini dikuasai oleh Sultan Anom dan para pendukungnya.
Di Banka, orang Bugis membuat permukiman di ujung barat semenanjung Tanjong Ular. Dari tempat ini, dengan perahu-perahu yang jumlahnya tak terhitung, mereka menguasai pesisir utara Pulau Banka. Di Koba, Sultan Anom mendirikan benteng untuk menguasai pesisir timur. Anaknya, Raden Klip, berkuasa di Paku—yang terletak di pedalaman pulau. Ia juga menguasai daerah pesisir yang terbentang di antara Banko-Kutto sampai ke Tubuali. Perincian ini tercatat dalam laporan ekspedisi yang dikirimkan dari Batavia pada tahun 1732 kepada Sultan Ratu (nama inilah yang digunakan oleh pejabat-pejabat Belanda di Batavia untuk mengacu pada Mahmud Badar Udin).
Laporan mengenai ekspedisi itu memberikan gambaran mengenai Pulau Banka pada masa ini. Penduduk Banka terpisah-pisah ke dalam beberapa suku yang masing-masing dipimpin seorang kepala. Ketika Horsfield meneliti, keadaan ini belum berubah. Suku-suku itu tidak dipersatukan oleh satu orang atau satu lembaga. Sultan yang baru tidak banyak berpengaruh di Banka. Sebagian besar penduduk lebih menyukai Sultan Anom yang terasing di pulau mereka.
Pustaka Acuan: Thomas Horsfield, M.D. “Report on the Island of Banka,” dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Vol. 2. Tempat-tahun (hal. 299 – ..)
APAKAH Pulau Banka pernah diserahkan kepada penguasa-penguasa di Kesultanan Palembang di masa ketika raja-raja Jawa dan raja-raja Palembang berhubungan dan bekerjasama? Ataukah, penduduk pulau itu—atas kemauan sendiri—mengakui kekuasaan raja-raja Palembang untuk mendapatkan perlindungan? Kemungkinan besar, bagian-bagian paling barat Banka terpengaruh besar oleh Palembang ketika daerah-daerah itu sebetulnya masih dikuasai oleh perwakilan raja-raja Jawa.
Adanya saling-keterkaitan di masa lalu di antara kerajaan di Palembang dan raja-raja di Pulau Jawa terbukti oleh naskah-naskah di Jawa dan di Palembang. Adanya kemiripan bahasa di kedua tempat itu merupakan salah satu bukti kuat tentang keberadaan hubungan saling-terkait itu. Bahasa yang digunakan oleh kelas-kelas menengah dan atas di Palembang dan sekitarnya menunjukkan kesamaan-kesamaan khas bahasa sumbernya, yaitu bahasa yang digunakan di daerah Jawa tengah.
Sejarah Jawa mencatat bahwa raja Madjapahit yang pertama, Browidjoyo Ongkowidjoyo, menganugerahkan kerajaan Palembang kepada anaknya, Ariyo Dammar. Pada waktu itu, Palembang sudah berada di bawah kekuasaannya. Pada tahun 1300, Ariyo Dammar berangkat ke Palembang. Ia diiringi oleh sejumlah besar pendukung dan pengiring. Mereka inilah yang menjadi koloni tetap pertama di sana.
Penelitian Horsfield mengenai turun-temurun raja-raja Palembang menghasilkan silsilah yang merangkum 248 tahun. Silsilah itu rupanya masih menyisakan banyak pertanyaan. Sebagian pangeran di dalam silsilah itu merupakan keturunan Ariyo Dammar, cikal-bakal koloni Jawa di Palembang; sebagian lagi merupakan keturunan Mulana Ibrahim, yang berasal dari Arab. Mulana Ibrahim-lah yang menyebarkan agama Islam di Jawa, Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya.
Menjelang akhir abad ke-16, kerajaan di Palembang berkali-kali diserang oleh orang dari daerah Lampung. Menurut Valentyn, dengan bantuan Kesultanan Banten, sebagian wilayah di batas selatan berhasil dikuasai Lampung, walau ini tidak berlangsung lama. Selebihnya, karena sedikitnya sumber sejarah yang tersedia, Horsfield tidak memberikan uraian lebih lanjut mengenai Palembang abad ke-17. Yang jelas, pada tahun 1660 kota Palembang habis diberangus oleh Belanda.
Di awal abad ke-18, terjadi peristiwa-peristiwa yang langsung berhubungan dengan Pulau Banka. Keresahan kemasyarakatan sekitar tahun 1720 di Palembang berakhir dengan penobatan sultan yang keturunannya masih bertahta ketika Horsfield datang meneliti di kota itu. Keresahan itu berhasil diredam berkat bantuan Belanda. Horsfield sendiri menyangsikan adanya dokumen-dokumen yang merekam revolusi itu. Ia sendiri menguraikan peristiwa itu berdasarkan cerita yang diwariskan turun-temurun oleh penduduk Palembang.
Ketika Susunan Ratu (Susuhunan Ratu) yang bernama Tshandi-Walang meninggal dunia pada tahun 1710, kerajaan di Palembang diwariskan kepada dua orang anaknya. Anak pertama, Mahomud Mongsour, tinggal di Kebon-Gede, suatu daerah yang terletak agak di luar kota. Adiknya, Sultan Kama-Rudin (yang menyandang gelar Sultan Agong) tinggal di kota Palembang. Tempat tinggal Sultan Agong dikenal juga dengan nama Plembang Lama.
Sebelum Sultan Muhamad Mongsour meninggal dunia, ia menyerahkan tahtanya kepada anak lelakinya yang sulung. Sultan yang baru itu bergelar Sultan Anom. Tak lama kemudian, terjadi kericuhan dan pertikaian di dalam keluarga ini yang meledak sehingga terjadi perpecahan keluarga.
Adik Sultan Anom yang bernama Raden Lambu merupakan lelaki pegiat yang gemar bertualang. Ia meninggalkan Palembang untuk mengunjungi negeri-negeri Johor, Tringano (Trengganu) dan Siam. Di Siantan, ia menikah dan kemudian mendirikan Minto (Muntok) sebagai permukiman untuk kerabat-kerabat isterinya. Tak lama kemudian, ia kembali ke Palembang untuk melaksanakan hal-hal yang diperlukan untuk menguasai kerajaan di kota itu.
Sultan Agong—pamannya—tidak memiliki anak lelaki. Untuk dapat menggantikan kedudukannya sebagai sultan, Raden Lambu sebetulnya harus mengawini anak perempuan Sultan Agong. Akan tetapi, anak perempuan itu telah menikah dengan seorang lelaki yang bernama Pangeran Djaja. Entah bagaimana caranya, Raden Lambu berhasil menceraikan kedua suami-isteri itu dan berhasil pula menikahi anak perempuan Sultan Agong. Ketika Sang Sultan meninggal dunia, Raden Lambu—menantunya–dinobatkan sebagai Sultan Agong. Dengan demikian, ia menguasai separuh kekuasaan dari Kesultanan Palembang yang terbagi dua itu.
Kini, hasutan dan intrik disebar dan menyirap persaingan di antara pangeran di Plembang Lama dan kakaknya—sultan baru–yang berkuasa di Kebon-Gede. Pertikaian itu semakin memanas oleh ikut campurnya Belanda yang didekati oleh Sultan Agong.
Beberapa kapal dan pasukan diberangkatkan dari Batavia sebagai bala bantuan. Sultan Agong menerapkan berbagai strategi untuk menghambat keamanan dan pertahanan Sultan Setelah suatu kunjungan silaturahmi biasa, Sultan Anom tiba-tiba dikejutkan oleh tembakan-tembakan dari kapal-kapal yang berlabuh di tengah-tengah Sungai Musi. Ia pun mendapatkan serangan dari darat. Mau tak-mau, Sultan Anom terpaksa meninggalkan istananya untuk menyelamatkan diri.
Awalnya, Sultan Anom pindah ke Jambi. Tak lama kemudian, ia pindah ke Banka. Bersama dengan pendukung-pendukungnya, selama 10 tahun berturut-turut, ia menentang kakaknya. Horsfield menduga adanya kemungkinan bahwa Sultan Anom akan terus berusaha merebut kembali kekuasaannya seandainya ia tidak diusir oleh suatu ekspedisi dari Batavia. Ekspedisi itu sendiri berakhir pada tahun 1732.
Oleh kedatangan ekspedisi militer Belanda dan revolusi yang terjadi, Raden Lambu–(adik Sultan Anom) dan menantu yang mewarisi tahta Sultan Agong—kini berhasil merebut kekuasaan penuh atas keseluruhan Kesultanan Palembang. Ia mulai menjalankan kekuasaannya pada tahun 1722 dan menyandang gelar Sultan Mahmud Badar Udin.
Sultan Mahmud Badar Udin (yang dulunya dikenal sebagai Raden Lambu dan kemudian sebentar, sebagai Sultan Agong, menandatangani kontrak kerjasama dengan komisioner Belanda yang datang dari Batavia. Di dalam kontrak itu, Sang Sultan berjanji akan menjual komoditi dan hasil produksi dari Palembang dan Banka kepada VOC dengan harga tertentu yang telah ditetapkan. Kontrak kerjasama itu disahkan di Batavia di tahun berikutnya. Nama kedua penandatangan kontrak kerjasama itu, Abraham Patras dan William Daums (komandan ekspedisi militer yang menaklukkan Sultan Anom di Kebon Gede), masih dikenal oleh orang di Palembang, ketika Horsfield di sana.
Uraian ini juga ditegaskan oleh Valentyn yang baru saja kembali ke Eropa ketika peristiwa ini terjadi. Seseorang di Batavia menyampaikan kepadanya bahwa ekspedisi militer VOC yang berangkat dari Batavia terdiri dari 6 buah kapal perang dan 400-500 anggota pasukan. Ekspedisi militer itu konon diberangkatkan untuk menyelesaikan pertikaian-pertikaian di antara keluarga kesultanan.
Walau Raden Lambu (Sultan Mahmud Badar Udin) telah memegang tampuk kepemimpinan di Palembang, Sultan Anom tidak melepas ambisinya. Setelah pindah ke Banka, ia mengumpulkan pendukung-pendukung dari Palembang. Selain itu, ia juga didukung oleh sejumlah besar orang Bugis yang ada di Pulau Banka. Terkecuali permukiman di Minto (Muntok), seluruh Pulau Banka kini dikuasai oleh Sultan Anom dan para pendukungnya.
Di Banka, orang Bugis membuat permukiman di ujung barat semenanjung Tanjong Ular. Dari tempat ini, dengan perahu-perahu yang jumlahnya tak terhitung, mereka menguasai pesisir utara Pulau Banka. Di Koba, Sultan Anom mendirikan benteng untuk menguasai pesisir timur. Anaknya, Raden Klip, berkuasa di Paku—yang terletak di pedalaman pulau. Ia juga menguasai daerah pesisir yang terbentang di antara Banko-Kutto sampai ke Tubuali. Perincian ini tercatat dalam laporan ekspedisi yang dikirimkan dari Batavia pada tahun 1732 kepada Sultan Ratu (nama inilah yang digunakan oleh pejabat-pejabat Belanda di Batavia untuk mengacu pada Mahmud Badar Udin).
Laporan mengenai ekspedisi itu memberikan gambaran mengenai Pulau Banka pada masa ini. Penduduk Banka terpisah-pisah ke dalam beberapa suku yang masing-masing dipimpin seorang kepala. Ketika Horsfield meneliti, keadaan ini belum berubah. Suku-suku itu tidak dipersatukan oleh satu orang atau satu lembaga. Sultan yang baru tidak banyak berpengaruh di Banka. Sebagian besar penduduk lebih menyukai Sultan Anom yang terasing di pulau mereka.
Pustaka Acuan: Thomas Horsfield, M.D. “Report on the Island of Banka,” dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Vol. 2. Tempat-tahun (hal. 299 – ..)
0 komentar: