Orang Laut dan Orang Gunung di Bangka
12:15:00 PM
By
noordkustbanka
0
komentar
Penduduk pedalaman Banka biasanya disebut Orang Gunung. Mereka termasuk bangsa Melayu, namun di mata Horsfield, peradaban mereka kurang maju dibandingkan dengan orang-orang Melayu di tempat-tempat lain.
TAMPAKNYA Orang Gunung di Banka sama dengan berbagai suku bangsa Binua yang tinggal di bagian selatan pedalaman Semenanjung Melayu.
Seorang penjelajah Inggris, Mr. Willer, yang pernah tinggal selama 5 tahunan di daerah Batak, mengungkapkan bahwa di daerah itu ada kelompok masyarakat, yaitu orang Lubu, yang mirip dengan orang Binua dari Johor. Pun mereka berbahasa Melayu. Ada yang berpendapat bahwa semua penduduk daerah Semenanjung Melayu merupakan keturunan dari orang Minangkabau. Namun, Horsfield menyangsikan kebenaran pendapat itu. Penelitian yang lebih mendalam di Sumatra, dan khususnya dengan dan tentang Orang Lubu barangkali dapat memberikan jawab atas pertanyaan apakah mereka dan Orang Binua merupakan nenek-moyang orang Melayu. Barangkali juga, orang Lubu merupakan keturunan Orang Binua. Demikianlah pertanyaan yang ada di kepala Horsfield. Bagaimana pun, asal-usul Orang Gunung belum dapat ditelusuri. Di masa lalu, hampir tak pernah mereka berhubungan dengan orang Eropa. Pun, mereka jarang berhubungan dengan orang-orang Melayu yang tinggal di sekitarnya.
Pada waktu orang mulai membuat permukiman di Minto, sebagian Orang Gunung mulai memeluk agama Islam. Ketika Horsfield di Banka, sebagian di antara mereka ‘kafir’ (istilah dari Horsfield). Bahasa Melayu yang biasa digunakan orang Gunung bercampur dengan istilah-istilah yang khas di dalam kebudayaan mereka sendiri atau kata-kata yang diadopsi dari bahasa Jawa.
Walau sebetulnya tidak memiliki system pemerintahan tertentu, Orang Gunung dikenali sebagai kelompok masyarakat tersendiri yang tinggal wilayah-wilayah tertentu. Setiap distrik/permukiman dikepalai oleh seseorang bergelar ‘Batin’, walau ia tak memiliki apa pun untuk mendukung wewenang dan kekuasaannya. Tak ada pula satu orang kepala adat yang berpengaruh atau berkuasa atas seluruh atau sebagian masyarakat Orang Gunung di Banka. Jabatan sebagai ‘Batin’ merupakan kedudukan patriarchal. Ia dihormati sebagai orang yang mempersatukan warga masyarakat yang dipimpinnya. Nasehatnya lebih diharapkan daripada bantuannya untuk menghadapi kesulitan dan permasalahan.
Gelar dan jabatan ‘Batin’ diturunkan dari ayah ke anak lelaki. Pewarisan gelar itu terjadi dengan persetujuan semua ‘mattagawe’ di dalam distrik yang terkait. Yang disebut ‘mattagawe’ adalah lelaki-lelaki yang sudah menikah di suatu wilayah, yang sesekali dipanggil untuk menjalankan tugas dari Sultan. Bila seorang ‘Batin’ melanggar suatu aturan adat atau tidak lagi mendapatkan kepercayaan warganya, ia dapat diturunkan dari jabatannya atas kesepakatan bersama masyarakatnya. Orang lain dipilih untuk menggantikannya. Seorang ‘Batin’ tidak imbalan apa pun untuk menjalankan fungsinya. Satu-satunya keuntungan yang berhak didapatkannya adalah sumbangan tenaga kerja sehari dari semua lelaki di dalam kelompoknya pada waktu ‘Batin’ itu hendak membuka hutan untuk ladang.
Orang Gunung tidak tinggal mengelompok di dalam sebuah desa. Biasanya, keluarga-keluarga Orang Gunung tinggal tersebar di hutan-hutan di wilayah mereka. Tempat tinggal itu berpindah-pindah dari tahun ke tahun sesuai dengan berpindah-pindahnya ladang-ladang pertanian mereka.
Untuk bertani, mereka memilih tempat yang dianggap subur di hutan. Lalu, mereka menebang pohon-pohon besar di daerah yang dipilih; ranting serta cabang yang lebih kecil digunakan untuk memagari lahan itu. Lahan yang sudah dibersihkan dari pepohonan besar itu kemudian dibakar. Bibit-bibit tanaman ditanam di tanah yang kini sudah siap. Lahan pertanian seperti ini disebut ladang. Pemilik ladang membangun rumahnya di ladang itu. Kegiatan membuka hutan dan menyiapkan ladang kadang-kadang dilakukan secara bergotong-royong dengan beberapa keluarga lain.
Permukiman Orang Gunung yang agak mirip dengan desa terdapat di Dshuwok (di dekat Kutto-Waringin—permukiman yang didirikan oleh Depally (Depati) Barin di Depa, di dekat Sungie Marawang. Yang juga mirip dengan desa adalah permukiman kecil yang terdapat di antara benteng di Pangkal Penang dan Juak. Permukiman ini terdapat di wilayah Batin Marawang. Kelompok masyarakat di Sungie Bulu, Jebus dan Klabbet cenderung lebih mempertahankan gaya hidup yang tradisional dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain.
Nasi adalah makanan pokok utama Orang Gunung, walau jagung, ketela dan ubi telah diperkenalkan oleh orang Cina dan Melayu dari Palembang. Tanaman-tanaman baru itu tumbuh subur di tanah Banka yang subur. Ubi manis (convolvulus batata) ditanam di ladang setelah panen padi. Tanaman ini lebih sering menjadi komoditi pertukaran untuk mendapatkan barang-barang dari para pedagang Cina daripada untuk dimakan sendiri.
Pepohonan buah yang paling sering ditemukan di tempat jarang ada di lingkungan Orang Gunung, kecuali yang sengaja telah ditanam di dekat permukiman. Masih banyak Orang Gunung yang tidak mengetahui cara membuka batok kelapa untuk mendapatkan airnya. Satu-satunya pohon buah yang sering tampak di dekat ladang-ladang mereka—dan juga tumbuh liar di dalam hutan—adalah pohon cempedak. Pohon yang tumbuh besar dan tinggi itu seringkali ditanam sebagai pusaka untuk anak-keturunan pemilik ladang itu, dengan harapan bahwa di suatu saat di masa depan, para anak-cucu akan membuka ladang dan menemukan pepohonan cempedak yang telah ditanam oleh nenek-moyangnya.
Penduduk Banka memiliki banyak sifat baik. Pencurian dan perampokan hampir tak dikenal sama sekali oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di sebelah utara pulau (BLINJU). Perjudian, mabuk-mabukan, perselingkuhan dan kejahatan-kejahatan serupa juga hampir tak diketemukan. Barangkali, kecilnya komuniti masyarakat itu, keterpencilan tempat tinggal dan kemiskinan kehidupan membuat mereka tidak tertarik atau pun mampu untuk berjudi atau pun bermabuk-mabukan.
Orang Laut
PADA tahun 1803, Sultan Mahmud Badoor-Udin (yang kedua) menggantikan ayahandanya di tahta Kesultanan Palembang. Di Banka, suasana terasa tenang dan aman. Akan tetapi hal ini tidak terjadi karena upaya sultan baru itu karena menurut penduduk, sultan baru itu justeru lebih tidak peduli pada nasib Banka daripada sultan yang digantikannya.
Pertanyaan-pertanyaan Horsfield mengenai rentetan malapetaka yang melanda Banka dijawab dengan sederhana oleh penduduk Banka: efek fatal penyakit cacar, kematian penduduk di belantara karena kelaparan, nasib orang-orang yang terpaksa menyerahkan diri sebagai budak untuk menghindari bahaya kelaparan serta kekejaman-kekejaman orang Lanon. Kesederhanaan jawaban-jawaban itu memberikan keyakinan akan kejujurannya.
Ketika menceritakan kegiatannya membangun benteng pertahanan di Mampang, Seorang lelaki yang amat dihormati di lingkungannya, Demang Satjo Truni, menceritakan bahwa setiap daun yang gugur, setiap ranting yang patah membangunkannya setiap malam. Kepada Horsfield, ia menambahkan bahwa setelah Banka menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Inggris, ia dapat tidur lelap karena merasa tenang. Hal yang sama didengarnya dari orang lainnya, warga Banka yang berbangsa Melayu, Cina maupun penduduk asli.
Barangkali sikap penduduk menerima kehadiran orang Inggris di Banka dapat dimengerti mengingat bahwa sultan-sultan Palembang selama ini lebih banyak menunjukkan sikap tidak peduli terhadap duka-lara kehidupan di Banka. Pergantian kekuasaan dari Palembang ke Inggris disambut baik (setidaknya, itu yang disampaikan kepada Horsfield). Para pekerja tambang yang seringkali ditindas oleh pengawas-pengawas pertambangan dari Palembang tampaknya meyakini sikap netral dan adil penguasa-penguasa baru dari Inggris. Pun, dengan kehadiran pemerintahan Inggris, mereka tidak lagi disergap di ladang dan dibegal atau diculik oleh para perompak. Orang Inggris merencanakan untuk membuka kembali pertambangan-pertambangan di daerah-daerah selatan pulau. Banyak orang yang tadinya mengungsi ke tempat yang dianggap lebih aman, kembali atau menunggu saat untuk pindah lagi ke daerah asalnya. Pada bulan April 1812, bendera Inggris dikibarkan di Pulau Banka. Sejak saat itu, segala hak Sultan Palembang atas Banka diserahkan kepada Inggris.
Di Pulau Banka, penduduk pendatang adalah orang Cina dan orang Melayu. Yang datang lebih dulu adalah kelompok masyarakat yang tinggal di gunung dan kelompok masyarakat yang tinggal di laut. Banyak masyarakat yang tinggal dan hidup di atas laut. Hal ini juga tampak di berbagai daerah di India. Di banyak tempat, membuat permukiman di atas laut merupakan keharusan (misalnya, oleh kendala lingkungan alam). Orang Rayad di Pulau Banka dan di perairan sekitarnya memilih untuk tinggal di atas laut. Oleh orang Melayu—yang memiliki kehidupan yang lain sama sekali—mereka dinamakan ‘orang laut’.
Berapa luas persebaran orang laut di Samudera Hindia tidak diketahui oleh Horsfield. Kemungkinan besar permukiman dan masyarakat orang laut tersebar di seluruh wilayah yang berbahasa Melayu. Ketika tulisan ini diterbitkan, orang laut terutama terdapat di daerah Linga, Rhio dan pulau-pulau di sekitar kedua daerah ini. Sejak dahulu, orang laut menjadi bagian dari rakyat sultan-sultan Melayu ketika mereka berjaya di Malakka dan kemudian, juga di Johor.
Orang Rayad, yang mempertahankan tradisinya, tinggal di perahu-perahu kecil bersama seluruh keluarga dan segala harta-benda mereka. Di kalangan orang Melayu, perahu-perahu seperti itu dinamakan ‘Prow Kakap’ karena bentuk dan geraknya di laut dianggap mirip dengan ikan kakap. Perahu-perahu itu dapat digunakan dengan dayung maupun dengan layar. Pembagian ruang di atas perahu-perahu itu kira-kira serupa: bagian buritan digunakan sebagai dapur dengan sebuah kompor. Bagian tengah digunakan untuk kegiatan di siang hari dan untuk beristirahat di malam hari. Perabotan di ruang tengah ini terdiri dari beberapa lembar tikar yang siang hari, biasanya disimpan dengan menggulungnya. Selain itu, biasanya juga ada sebuah peti kecil untuk menyimpan benda-benda berharga. Pada malam hari dan ketika cuaca buruk, perahu itu ditutupi dengan sebuah tikar kajang. Bila tidak digunakan, tikar ini pun disampirkan di bagian buritan perahu.
Perlengkapan perahu itu sederhana saja: sebuah harpoon dan sebuah alat serupa tombak untuk mencari kepiting di pasir, beberapa buah batok kelapa dan dayung-dayung ukurannya sesuai dengan perahu itu. Selain itu juga tersedia gentong. Tak ketinggalan: seekor kucing kesayangan. Beberapa buah tombak kayu—alat pembela diri yang paling disukai—siap di tempat-tempat strategis. Orang laut sangat handal menggunakan tombak-tombak itu. Perahu-perahu besar (yang tampaknya biasa digunakan untuk tujuan perang atau penyerangan) dilengkapi dengan ‘rantakka’ (senjata api kecil), senjata-senjata api lainnya, aneka tombak dan pedang-pedang Melayu.#
Pustaka Acuan:
Thomas Horsfield, M.D. “Report on the Island of Banka,” dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Vol. 2. Tempat-tahun (hal. 299 – ..)
TAMPAKNYA Orang Gunung di Banka sama dengan berbagai suku bangsa Binua yang tinggal di bagian selatan pedalaman Semenanjung Melayu.
Seorang penjelajah Inggris, Mr. Willer, yang pernah tinggal selama 5 tahunan di daerah Batak, mengungkapkan bahwa di daerah itu ada kelompok masyarakat, yaitu orang Lubu, yang mirip dengan orang Binua dari Johor. Pun mereka berbahasa Melayu. Ada yang berpendapat bahwa semua penduduk daerah Semenanjung Melayu merupakan keturunan dari orang Minangkabau. Namun, Horsfield menyangsikan kebenaran pendapat itu. Penelitian yang lebih mendalam di Sumatra, dan khususnya dengan dan tentang Orang Lubu barangkali dapat memberikan jawab atas pertanyaan apakah mereka dan Orang Binua merupakan nenek-moyang orang Melayu. Barangkali juga, orang Lubu merupakan keturunan Orang Binua. Demikianlah pertanyaan yang ada di kepala Horsfield. Bagaimana pun, asal-usul Orang Gunung belum dapat ditelusuri. Di masa lalu, hampir tak pernah mereka berhubungan dengan orang Eropa. Pun, mereka jarang berhubungan dengan orang-orang Melayu yang tinggal di sekitarnya.
Pada waktu orang mulai membuat permukiman di Minto, sebagian Orang Gunung mulai memeluk agama Islam. Ketika Horsfield di Banka, sebagian di antara mereka ‘kafir’ (istilah dari Horsfield). Bahasa Melayu yang biasa digunakan orang Gunung bercampur dengan istilah-istilah yang khas di dalam kebudayaan mereka sendiri atau kata-kata yang diadopsi dari bahasa Jawa.
Walau sebetulnya tidak memiliki system pemerintahan tertentu, Orang Gunung dikenali sebagai kelompok masyarakat tersendiri yang tinggal wilayah-wilayah tertentu. Setiap distrik/permukiman dikepalai oleh seseorang bergelar ‘Batin’, walau ia tak memiliki apa pun untuk mendukung wewenang dan kekuasaannya. Tak ada pula satu orang kepala adat yang berpengaruh atau berkuasa atas seluruh atau sebagian masyarakat Orang Gunung di Banka. Jabatan sebagai ‘Batin’ merupakan kedudukan patriarchal. Ia dihormati sebagai orang yang mempersatukan warga masyarakat yang dipimpinnya. Nasehatnya lebih diharapkan daripada bantuannya untuk menghadapi kesulitan dan permasalahan.
Gelar dan jabatan ‘Batin’ diturunkan dari ayah ke anak lelaki. Pewarisan gelar itu terjadi dengan persetujuan semua ‘mattagawe’ di dalam distrik yang terkait. Yang disebut ‘mattagawe’ adalah lelaki-lelaki yang sudah menikah di suatu wilayah, yang sesekali dipanggil untuk menjalankan tugas dari Sultan. Bila seorang ‘Batin’ melanggar suatu aturan adat atau tidak lagi mendapatkan kepercayaan warganya, ia dapat diturunkan dari jabatannya atas kesepakatan bersama masyarakatnya. Orang lain dipilih untuk menggantikannya. Seorang ‘Batin’ tidak imbalan apa pun untuk menjalankan fungsinya. Satu-satunya keuntungan yang berhak didapatkannya adalah sumbangan tenaga kerja sehari dari semua lelaki di dalam kelompoknya pada waktu ‘Batin’ itu hendak membuka hutan untuk ladang.
Orang Gunung tidak tinggal mengelompok di dalam sebuah desa. Biasanya, keluarga-keluarga Orang Gunung tinggal tersebar di hutan-hutan di wilayah mereka. Tempat tinggal itu berpindah-pindah dari tahun ke tahun sesuai dengan berpindah-pindahnya ladang-ladang pertanian mereka.
Untuk bertani, mereka memilih tempat yang dianggap subur di hutan. Lalu, mereka menebang pohon-pohon besar di daerah yang dipilih; ranting serta cabang yang lebih kecil digunakan untuk memagari lahan itu. Lahan yang sudah dibersihkan dari pepohonan besar itu kemudian dibakar. Bibit-bibit tanaman ditanam di tanah yang kini sudah siap. Lahan pertanian seperti ini disebut ladang. Pemilik ladang membangun rumahnya di ladang itu. Kegiatan membuka hutan dan menyiapkan ladang kadang-kadang dilakukan secara bergotong-royong dengan beberapa keluarga lain.
Permukiman Orang Gunung yang agak mirip dengan desa terdapat di Dshuwok (di dekat Kutto-Waringin—permukiman yang didirikan oleh Depally (Depati) Barin di Depa, di dekat Sungie Marawang. Yang juga mirip dengan desa adalah permukiman kecil yang terdapat di antara benteng di Pangkal Penang dan Juak. Permukiman ini terdapat di wilayah Batin Marawang. Kelompok masyarakat di Sungie Bulu, Jebus dan Klabbet cenderung lebih mempertahankan gaya hidup yang tradisional dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain.
Nasi adalah makanan pokok utama Orang Gunung, walau jagung, ketela dan ubi telah diperkenalkan oleh orang Cina dan Melayu dari Palembang. Tanaman-tanaman baru itu tumbuh subur di tanah Banka yang subur. Ubi manis (convolvulus batata) ditanam di ladang setelah panen padi. Tanaman ini lebih sering menjadi komoditi pertukaran untuk mendapatkan barang-barang dari para pedagang Cina daripada untuk dimakan sendiri.
Pepohonan buah yang paling sering ditemukan di tempat jarang ada di lingkungan Orang Gunung, kecuali yang sengaja telah ditanam di dekat permukiman. Masih banyak Orang Gunung yang tidak mengetahui cara membuka batok kelapa untuk mendapatkan airnya. Satu-satunya pohon buah yang sering tampak di dekat ladang-ladang mereka—dan juga tumbuh liar di dalam hutan—adalah pohon cempedak. Pohon yang tumbuh besar dan tinggi itu seringkali ditanam sebagai pusaka untuk anak-keturunan pemilik ladang itu, dengan harapan bahwa di suatu saat di masa depan, para anak-cucu akan membuka ladang dan menemukan pepohonan cempedak yang telah ditanam oleh nenek-moyangnya.
Penduduk Banka memiliki banyak sifat baik. Pencurian dan perampokan hampir tak dikenal sama sekali oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di sebelah utara pulau (BLINJU). Perjudian, mabuk-mabukan, perselingkuhan dan kejahatan-kejahatan serupa juga hampir tak diketemukan. Barangkali, kecilnya komuniti masyarakat itu, keterpencilan tempat tinggal dan kemiskinan kehidupan membuat mereka tidak tertarik atau pun mampu untuk berjudi atau pun bermabuk-mabukan.
Orang Laut
PADA tahun 1803, Sultan Mahmud Badoor-Udin (yang kedua) menggantikan ayahandanya di tahta Kesultanan Palembang. Di Banka, suasana terasa tenang dan aman. Akan tetapi hal ini tidak terjadi karena upaya sultan baru itu karena menurut penduduk, sultan baru itu justeru lebih tidak peduli pada nasib Banka daripada sultan yang digantikannya.
Pertanyaan-pertanyaan Horsfield mengenai rentetan malapetaka yang melanda Banka dijawab dengan sederhana oleh penduduk Banka: efek fatal penyakit cacar, kematian penduduk di belantara karena kelaparan, nasib orang-orang yang terpaksa menyerahkan diri sebagai budak untuk menghindari bahaya kelaparan serta kekejaman-kekejaman orang Lanon. Kesederhanaan jawaban-jawaban itu memberikan keyakinan akan kejujurannya.
Ketika menceritakan kegiatannya membangun benteng pertahanan di Mampang, Seorang lelaki yang amat dihormati di lingkungannya, Demang Satjo Truni, menceritakan bahwa setiap daun yang gugur, setiap ranting yang patah membangunkannya setiap malam. Kepada Horsfield, ia menambahkan bahwa setelah Banka menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Inggris, ia dapat tidur lelap karena merasa tenang. Hal yang sama didengarnya dari orang lainnya, warga Banka yang berbangsa Melayu, Cina maupun penduduk asli.
Barangkali sikap penduduk menerima kehadiran orang Inggris di Banka dapat dimengerti mengingat bahwa sultan-sultan Palembang selama ini lebih banyak menunjukkan sikap tidak peduli terhadap duka-lara kehidupan di Banka. Pergantian kekuasaan dari Palembang ke Inggris disambut baik (setidaknya, itu yang disampaikan kepada Horsfield). Para pekerja tambang yang seringkali ditindas oleh pengawas-pengawas pertambangan dari Palembang tampaknya meyakini sikap netral dan adil penguasa-penguasa baru dari Inggris. Pun, dengan kehadiran pemerintahan Inggris, mereka tidak lagi disergap di ladang dan dibegal atau diculik oleh para perompak. Orang Inggris merencanakan untuk membuka kembali pertambangan-pertambangan di daerah-daerah selatan pulau. Banyak orang yang tadinya mengungsi ke tempat yang dianggap lebih aman, kembali atau menunggu saat untuk pindah lagi ke daerah asalnya. Pada bulan April 1812, bendera Inggris dikibarkan di Pulau Banka. Sejak saat itu, segala hak Sultan Palembang atas Banka diserahkan kepada Inggris.
Di Pulau Banka, penduduk pendatang adalah orang Cina dan orang Melayu. Yang datang lebih dulu adalah kelompok masyarakat yang tinggal di gunung dan kelompok masyarakat yang tinggal di laut. Banyak masyarakat yang tinggal dan hidup di atas laut. Hal ini juga tampak di berbagai daerah di India. Di banyak tempat, membuat permukiman di atas laut merupakan keharusan (misalnya, oleh kendala lingkungan alam). Orang Rayad di Pulau Banka dan di perairan sekitarnya memilih untuk tinggal di atas laut. Oleh orang Melayu—yang memiliki kehidupan yang lain sama sekali—mereka dinamakan ‘orang laut’.
Berapa luas persebaran orang laut di Samudera Hindia tidak diketahui oleh Horsfield. Kemungkinan besar permukiman dan masyarakat orang laut tersebar di seluruh wilayah yang berbahasa Melayu. Ketika tulisan ini diterbitkan, orang laut terutama terdapat di daerah Linga, Rhio dan pulau-pulau di sekitar kedua daerah ini. Sejak dahulu, orang laut menjadi bagian dari rakyat sultan-sultan Melayu ketika mereka berjaya di Malakka dan kemudian, juga di Johor.
Orang Rayad, yang mempertahankan tradisinya, tinggal di perahu-perahu kecil bersama seluruh keluarga dan segala harta-benda mereka. Di kalangan orang Melayu, perahu-perahu seperti itu dinamakan ‘Prow Kakap’ karena bentuk dan geraknya di laut dianggap mirip dengan ikan kakap. Perahu-perahu itu dapat digunakan dengan dayung maupun dengan layar. Pembagian ruang di atas perahu-perahu itu kira-kira serupa: bagian buritan digunakan sebagai dapur dengan sebuah kompor. Bagian tengah digunakan untuk kegiatan di siang hari dan untuk beristirahat di malam hari. Perabotan di ruang tengah ini terdiri dari beberapa lembar tikar yang siang hari, biasanya disimpan dengan menggulungnya. Selain itu, biasanya juga ada sebuah peti kecil untuk menyimpan benda-benda berharga. Pada malam hari dan ketika cuaca buruk, perahu itu ditutupi dengan sebuah tikar kajang. Bila tidak digunakan, tikar ini pun disampirkan di bagian buritan perahu.
Perlengkapan perahu itu sederhana saja: sebuah harpoon dan sebuah alat serupa tombak untuk mencari kepiting di pasir, beberapa buah batok kelapa dan dayung-dayung ukurannya sesuai dengan perahu itu. Selain itu juga tersedia gentong. Tak ketinggalan: seekor kucing kesayangan. Beberapa buah tombak kayu—alat pembela diri yang paling disukai—siap di tempat-tempat strategis. Orang laut sangat handal menggunakan tombak-tombak itu. Perahu-perahu besar (yang tampaknya biasa digunakan untuk tujuan perang atau penyerangan) dilengkapi dengan ‘rantakka’ (senjata api kecil), senjata-senjata api lainnya, aneka tombak dan pedang-pedang Melayu.#
Pustaka Acuan:
Thomas Horsfield, M.D. “Report on the Island of Banka,” dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Vol. 2. Tempat-tahun (hal. 299 – ..)
0 komentar: