Masa Awal Pertambangan Timah di Banka
12:25:00 PM
By
noordkustbanka
Di Belo, usaha-usaha timah terarah ke daerah-daerah di sekitar Teluk Klabbet. Letak daerah ini sangat baik untuk pelayaran kapal-kapal yang dahulu biasa digunakan oleh penduduk. Daerah itu merupakan daerah yang penting selama tambang-tambang timah di sana masih produktif. Tambang-tambang timah di daerah itu terdapat di sayap kiri dan kanan teluk itu.
Di sebelah timur, tambang-tambang di Lumut dan Belinyu digarap, bahkan sampai saat Horsfield meneliti. Sebaliknya, tambang-tambang di Sayang dan Pand-jee sudah tidak produktif lagi. Di sebelah barat, tambang-tambang yang tua terdapat di daerah Klabbet—yang kini disebut Klabbet-Lama dan Anten. Setelah tambang-tambang di sini menjadi tidak produktif, penggarapan timah bergeser ke barat, ke Mampang dan Tinga (yang terdapat di tengah-tengah semenanjung itu). Tambang-tambang paling produktif di Pulau Banka masih terdapat di daerah ini, di dekat permukiman Klabbet Baru dan Jebus.
Semakin lama, semakin banyak orang Cina datang untuk menggarap dan mengusahakan pertambangan di Banka. Jumlahnya bahkan melebihi permintaan akan tenaga kerja di daerah-daerah yang disebutkan di atas. Karena itu, usaha pertambangan lalu berkembang ke arah pantai timur.
Sungie-Liat, daerah yang paling dekat dengan Sayang (di ujung selatan teluk itu) merupakan daerah yang pertama-tama digarap di daerah ini. Menurut cerita warga-warga tertuanya, pada awalnya, tambang-tambang di daerah ini menghasilkan banyak timah. Dari Sungie-Liat, usaha pertambangan timah bergerak ke sepanjang pantai timur, sampai ke Tanjong Merikat–di ujung paling timur Pulau Banka, di sebelah utara Selat Sipar. Setelah itu, berturut-turut dibuka pertambangan di Pangkal Penang, Merawang, Kaba dan beberapa tempat pertambangan lain yang tidak begitu penting
Kegiatan pertambangan di daerah-daerah di atas hampir sepenuhnya dijalankan oleh orang Cina. Teknik penambangan yang digunakan adalah teknik yang biasa digunakan di semenanjung di utara dan di Belo. Namun, ciri tanah di daerah lumut, Klabbet dan Anten memberikan banyak kemudahan. Di tempat-tempat itu, timah banyak diketemukan di permukaan tanah atau hanya tertutup lapisan tanah yang tipis saja. Beberapa tempat saja yang sangat kaya akan timah, namun di tempat-tempat itu, timah yang diketemukan merupakan timah berkadar tinggi. Dengan seksama memilih daerah-daerah kaya timah dengan persediaan air yang cukup banyak untuk mengolahnya, penggarap-penggarap itu mampu menghasilkan timah yang jauh lebih banyak. Tak heran bahwa banyak di antara penggarap timah itu kemudian mampu menabung untuk mudik ke negeri asalnya. Ini pun merupakan cerita yang disampaikan oleh orang-orang tua di daerah itu.
Dari Belo, usaha pertambangan dikembangkan juga ke arah timur. Tambang-tambang di Tampelang dibuka tak lama setelah tambang-tambang di Sungie-Liat. Namun, pada umumnya, pesisir barat rupanya tidak sekaya pesisir timur. Karena itu, orang Cina tidak membangun permukiman tetap di daerah sebelah selatan Tampelang.
Di daerah luas diantara Kabo dan Pangkal-Pinang juga dibuka beberapa pertambangan. Tambang-tambang ini sepenuhnya diusahakan oleh penduduk asli Banka. Orang Cina enggan menggarap timah olahan dari daerah yang jauh. Penduduk asli daerah ini biasanya disebut Paku (seperti halnya penduduk di Biliton (atau, Bliton). Mereka dikenal sebagai penggarap timah yang bekerja di sebagian besar Pulau Banka.
Di Tubuali, Nyeery, Ulim, Permissang, Banko-Kutto dan daerah-daerah sekitarnya sepanjang pesisir barat (sampai ke selatan Kotto-Waringin), usaha pertambangan juga hampir sepenuhnya dijalankan oleh penduduk asli yang mengolah timah dengan cara yang diperkenalkan oleh orang Cina. Sistem mengumpulkan timah dengan kelompok-kelompok kecil tidak memungkinkan penerapan metode yang biasanya digunakan di daerah lain di Banka. Tanah di daerah-daerah di atas—sampai ke ujung selatan pulau—banyak memiliki kandungan timah.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa usaha pertambangan telah berkembang cepat di hampir seluruh daerah di Banka, terkecuali daerah paling selatan yang terdapat di antara batas timur Tubuali dan ujung Tanjong Merikat serta benteng di Gunung Maras dan daerah di sebelah baratnya.
Pada tahun 1755, sebuah komisi khusus diutus dari Batavia untuk mengatur hal-ihwal VOC di Kesultanan Palembang dan kontrak-kontrak kerjasama yang telah dibuat. Laporan-laporan dari komisi itu memberikan informasi mengenai perkembangan usaha pertambangan di Banka di sekitar pertengahan abad itu. Sebuah lampiran di laporan-laporan itu memberikan angka-angka produksi timah yang dikirimkan dari Palembang ke Batavia, di antara tahun 1733 (setahun sebelum diusirnya Sultan Anom) sampai tahun 1754. Produksi timah itu perlahan-lahan meningkat—dari 1110 pikul (148.000 pon Inggris) menjadi lebih dari 16.000 pikul (2.133.333,33 pon Inggris). Produksi paling besar dihasilkan pada tahun 1751, yaitu sejumlah 16.884 pikul.
Dari berbagai wawancara yang dilakukan seorang anggota komisi untuk mengumpulkan data di Minto, dibuatlah kalkulasi kemungkinan produksi tahunan tambang-tambang yang ada di masa itu. Perkiraan produksi tahunan sebesar 73.000 pikul diperoleh dari menghitung banyaknya tungku pembakaran yang ada di Banka dan jumlah timah yang rata-rata setiap hari diolah di setiap tungku itu. Data dari perhitungan ini tidak terlalu jelas dan rupanya agak berlebih. Pada saat ini, tambang-tambang yang ada terdapat di Minto, Belo dan daerah di sekitar Teluk Klabbet.
Pada tahun 1756, Sultan Mahmud Badar Udin (I) meninggal dunia. Tahtanya diwariskan kepada anaknya yang bergelar Sultan Ratu Achmat Nadja Mudin. Sultan terakhir ini berkuasan sampai tahun 1776. Di masa ini, baik Palembang maupun Banka aman dan tenteram. Kemakmuran di masa kesultanan Mahmud Badar Udin melegenda. Ketika sultan yang baru dinobatkan sebagai pengganti kakaknya yang dikucilkan, ia memutuskan untuk mengambil nama kakeknya, seorang sultan yang dihormati dan dikenang baik oleh warga Palembang—bahkan sampai sekarang.
Pada masa ini, hasil produksi pertambangan meningkat sampai-sampai banyaknya timah yang dikirim ke Batavia (sesuai kontrak) melebihi permintaan dari Batavia. Banyaknya produksi itu mengundang penjualan gelap dan penyelundupan timah ke luar Banka. Hal ini tidak diberantas dan di kemudian hari, banyak menimbulkan kesulitan. Banyak warga Palembang yang diwawancarai oleh Horsfield memiliki kenangan baik mengenai masa ini. Dokumen-dokumen di Batavia membenarkan kenangan mereka tentang kemakmuran saat itu.
Sultan Ratu Achmat Nadja Mudin, yang dikenal sebagai Susunan Ratu di masa akhir kekuasaannya, meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya: Sultan Mohamed Baha Udin. Masa pemerintahannya berlangsung sampai tahun 1803. Dalam masa awal pemerintahannya, aman-aman saja. Hasil tambang tahunan perlahan-lahan menurun karena keletihan tambang-tambang itu sendiri. Pada waktu itu, tambang-tambang di Minto dan Belo banyak ditinggalkan oleh orang Cina sehingga hampir sepenuhnya digarap oleh orang Melayu dan penduduk asli. Pustaka Acuan:
Thomas Horsfield, M.D. “Report on the Island of Banka,” dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Vol. 2. (hal. 299 – ..)
Di sebelah timur, tambang-tambang di Lumut dan Belinyu digarap, bahkan sampai saat Horsfield meneliti. Sebaliknya, tambang-tambang di Sayang dan Pand-jee sudah tidak produktif lagi. Di sebelah barat, tambang-tambang yang tua terdapat di daerah Klabbet—yang kini disebut Klabbet-Lama dan Anten. Setelah tambang-tambang di sini menjadi tidak produktif, penggarapan timah bergeser ke barat, ke Mampang dan Tinga (yang terdapat di tengah-tengah semenanjung itu). Tambang-tambang paling produktif di Pulau Banka masih terdapat di daerah ini, di dekat permukiman Klabbet Baru dan Jebus.
Semakin lama, semakin banyak orang Cina datang untuk menggarap dan mengusahakan pertambangan di Banka. Jumlahnya bahkan melebihi permintaan akan tenaga kerja di daerah-daerah yang disebutkan di atas. Karena itu, usaha pertambangan lalu berkembang ke arah pantai timur.
Sungie-Liat, daerah yang paling dekat dengan Sayang (di ujung selatan teluk itu) merupakan daerah yang pertama-tama digarap di daerah ini. Menurut cerita warga-warga tertuanya, pada awalnya, tambang-tambang di daerah ini menghasilkan banyak timah. Dari Sungie-Liat, usaha pertambangan timah bergerak ke sepanjang pantai timur, sampai ke Tanjong Merikat–di ujung paling timur Pulau Banka, di sebelah utara Selat Sipar. Setelah itu, berturut-turut dibuka pertambangan di Pangkal Penang, Merawang, Kaba dan beberapa tempat pertambangan lain yang tidak begitu penting
Kegiatan pertambangan di daerah-daerah di atas hampir sepenuhnya dijalankan oleh orang Cina. Teknik penambangan yang digunakan adalah teknik yang biasa digunakan di semenanjung di utara dan di Belo. Namun, ciri tanah di daerah lumut, Klabbet dan Anten memberikan banyak kemudahan. Di tempat-tempat itu, timah banyak diketemukan di permukaan tanah atau hanya tertutup lapisan tanah yang tipis saja. Beberapa tempat saja yang sangat kaya akan timah, namun di tempat-tempat itu, timah yang diketemukan merupakan timah berkadar tinggi. Dengan seksama memilih daerah-daerah kaya timah dengan persediaan air yang cukup banyak untuk mengolahnya, penggarap-penggarap itu mampu menghasilkan timah yang jauh lebih banyak. Tak heran bahwa banyak di antara penggarap timah itu kemudian mampu menabung untuk mudik ke negeri asalnya. Ini pun merupakan cerita yang disampaikan oleh orang-orang tua di daerah itu.
Dari Belo, usaha pertambangan dikembangkan juga ke arah timur. Tambang-tambang di Tampelang dibuka tak lama setelah tambang-tambang di Sungie-Liat. Namun, pada umumnya, pesisir barat rupanya tidak sekaya pesisir timur. Karena itu, orang Cina tidak membangun permukiman tetap di daerah sebelah selatan Tampelang.
Di daerah luas diantara Kabo dan Pangkal-Pinang juga dibuka beberapa pertambangan. Tambang-tambang ini sepenuhnya diusahakan oleh penduduk asli Banka. Orang Cina enggan menggarap timah olahan dari daerah yang jauh. Penduduk asli daerah ini biasanya disebut Paku (seperti halnya penduduk di Biliton (atau, Bliton). Mereka dikenal sebagai penggarap timah yang bekerja di sebagian besar Pulau Banka.
Di Tubuali, Nyeery, Ulim, Permissang, Banko-Kutto dan daerah-daerah sekitarnya sepanjang pesisir barat (sampai ke selatan Kotto-Waringin), usaha pertambangan juga hampir sepenuhnya dijalankan oleh penduduk asli yang mengolah timah dengan cara yang diperkenalkan oleh orang Cina. Sistem mengumpulkan timah dengan kelompok-kelompok kecil tidak memungkinkan penerapan metode yang biasanya digunakan di daerah lain di Banka. Tanah di daerah-daerah di atas—sampai ke ujung selatan pulau—banyak memiliki kandungan timah.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa usaha pertambangan telah berkembang cepat di hampir seluruh daerah di Banka, terkecuali daerah paling selatan yang terdapat di antara batas timur Tubuali dan ujung Tanjong Merikat serta benteng di Gunung Maras dan daerah di sebelah baratnya.
Pada tahun 1755, sebuah komisi khusus diutus dari Batavia untuk mengatur hal-ihwal VOC di Kesultanan Palembang dan kontrak-kontrak kerjasama yang telah dibuat. Laporan-laporan dari komisi itu memberikan informasi mengenai perkembangan usaha pertambangan di Banka di sekitar pertengahan abad itu. Sebuah lampiran di laporan-laporan itu memberikan angka-angka produksi timah yang dikirimkan dari Palembang ke Batavia, di antara tahun 1733 (setahun sebelum diusirnya Sultan Anom) sampai tahun 1754. Produksi timah itu perlahan-lahan meningkat—dari 1110 pikul (148.000 pon Inggris) menjadi lebih dari 16.000 pikul (2.133.333,33 pon Inggris). Produksi paling besar dihasilkan pada tahun 1751, yaitu sejumlah 16.884 pikul.
Dari berbagai wawancara yang dilakukan seorang anggota komisi untuk mengumpulkan data di Minto, dibuatlah kalkulasi kemungkinan produksi tahunan tambang-tambang yang ada di masa itu. Perkiraan produksi tahunan sebesar 73.000 pikul diperoleh dari menghitung banyaknya tungku pembakaran yang ada di Banka dan jumlah timah yang rata-rata setiap hari diolah di setiap tungku itu. Data dari perhitungan ini tidak terlalu jelas dan rupanya agak berlebih. Pada saat ini, tambang-tambang yang ada terdapat di Minto, Belo dan daerah di sekitar Teluk Klabbet.
Pada tahun 1756, Sultan Mahmud Badar Udin (I) meninggal dunia. Tahtanya diwariskan kepada anaknya yang bergelar Sultan Ratu Achmat Nadja Mudin. Sultan terakhir ini berkuasan sampai tahun 1776. Di masa ini, baik Palembang maupun Banka aman dan tenteram. Kemakmuran di masa kesultanan Mahmud Badar Udin melegenda. Ketika sultan yang baru dinobatkan sebagai pengganti kakaknya yang dikucilkan, ia memutuskan untuk mengambil nama kakeknya, seorang sultan yang dihormati dan dikenang baik oleh warga Palembang—bahkan sampai sekarang.
Pada masa ini, hasil produksi pertambangan meningkat sampai-sampai banyaknya timah yang dikirim ke Batavia (sesuai kontrak) melebihi permintaan dari Batavia. Banyaknya produksi itu mengundang penjualan gelap dan penyelundupan timah ke luar Banka. Hal ini tidak diberantas dan di kemudian hari, banyak menimbulkan kesulitan. Banyak warga Palembang yang diwawancarai oleh Horsfield memiliki kenangan baik mengenai masa ini. Dokumen-dokumen di Batavia membenarkan kenangan mereka tentang kemakmuran saat itu.
Sultan Ratu Achmat Nadja Mudin, yang dikenal sebagai Susunan Ratu di masa akhir kekuasaannya, meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya: Sultan Mohamed Baha Udin. Masa pemerintahannya berlangsung sampai tahun 1803. Dalam masa awal pemerintahannya, aman-aman saja. Hasil tambang tahunan perlahan-lahan menurun karena keletihan tambang-tambang itu sendiri. Pada waktu itu, tambang-tambang di Minto dan Belo banyak ditinggalkan oleh orang Cina sehingga hampir sepenuhnya digarap oleh orang Melayu dan penduduk asli. Pustaka Acuan:
Thomas Horsfield, M.D. “Report on the Island of Banka,” dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Vol. 2. (hal. 299 – ..)